Sabtu, 22 Juni 2013

Puncak Gunung Gede

(Fragmen bagian terakhir dari novel Karena Kamu Cuma Satu karya Shabrina MY)


Aku senang sekali ketika Dion mengajakku untuk mendaki gunung Gede bersama-sama. Aku mempersiapkan semuanya dari seminggu sebelum keberangkatan.
“Serius, Di?” tanyaku tidak percaya ketika Dion datang memberi kabar sore itu.
“Iya, sayang. Kan waktu itu aku pernah janji mau ngajak kamu, Rin.”
“Asik…” aku langsung memeluk Dion.
“Aku pengin banget mendaki gunung bareng perempuan yang paling aku sayang.”
Aku tersipu malu.
“Mulai dari sekarang, kamu harus latihan jalan kaki setiap hari, latihan lari keliling stadion 5 kali. Biar di sana kamu gak gampang capek, Rin. Oh iya, jaga kesehatan yang paling penting.” tambahnya.
“Kita berdua aja, Di?”
“Sama temen-temen aku. Tapi kita dari Jakarta berdua. Temen-temenku jalan duluan.”
“Oke. Oh iya, aku sampe lupa ngajak kamu masuk ke dalem.” aku menarik tangan Dion masuk ke dalam rumah.
“Eh, ada Dion. Ke mana aja baru kelihatan? Makin ganteng aja nih calon menantuku.” sapa Mama ketika keluar dari dalam kamarnya.
 “Hehehe maaf tante kemaren-kemaren aku lagi banyak urusan.” jawabnya langsung mencium tangan Mama.
 “Sering-sering main ke sini yah, Nak! Tante senang kalo rumah ini rame.”
 Dion hanya senyam-senyum.
“Tun… Atun… Tolong bikinin minum untuk calon menantu saya!” suruh Mama. “Atun… Kamu denger saya gak sih? Aduh… Maklumlah si Atun baru seminggu kerja di sini. Dia belum terbiasa dengan suara cempreng saya.” ujar Mama sambil duduk di sebelah Dion.
Mama selalu memperlakukan Dion begitu istimewa. Layaknya raja yang memang harus di jamu dengan baik. Mama juga senang ketika pertama kali aku memperkenalkan Dion kepadanya. Kata Mama, Dion tampan dan gak banyak gaya. Pokoknya, Dion harus menikah denganku.



***



Tepat jam 8 pagi aku sudah siap dengan semua perlengkapan untuk mendaki. Dan tidak ketinggalan jaket parasut berwarna kuning hadiah ulang tahun dari Papa.
“Beneran gak ada yang ketinggalan?” tanya Mama yang ikut sibuk mempersiapkan semua kebutuhanku.
“Udah kok, Ma.”
“Kamera, dompet, HP gak ketinggalan kan?” tambah Papa.
“Udah beres semua, bos. Tenang aja.”
“Itu calon menantu kita sudah datang.” ujar Papa.
“Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam…”
“Aduh… Gantengnya calon menantuku.” Mama mengelus-elus pipi Dion.
“Hehehe tante bisa aja.” Dion tersenyum malu.
“Kamu ke terminal naik apa Dion?” tanya Papa.
“Naik angkutan umum aja tante.”
“Angkutan umum? Perjalanan kalian masih jauh kalo naik angkutan umum nanti keburu capek di jalan. Mama gak tega, Nak. Pa… Cepet ambil kunci mobil kita antar mereka sampe ke stasuin.”
“Ya udah, itu ide bagus.” ujarku.
“Sebentar yah Papa mau ambil kunci mobil dulu.”
Di tengah perjalanan menuju terminal Kampung Rambutan, Mama dan Papa tidak henti-hentinya memberi pesan kepada kami untuk selalu berhati-hati dan berdoa kapan pun.
Mama dan Papa mengantar sampai bus yang kami tumpangi jurusan Bogor meninggalkan terminal. Dua jam kemudian, kami tiba di perempatan Cibodas. Untunglah jalan menuju puncak tidak seramai biasanya.
Udara sejuk sudah mulai terasa. Menghirup udara segar dan menghembuskannya secara perlahan. Aku dan Dion duduk-duduk sebentar di pinggir jalan untuk sekadar bersantai. Belum sampai di puncak saja aku sudah merasa letih.
Aku kira sudah hampir sampai. Ternyata kami harus naik angkutan umum untuk sampai ke sana. Kira-kira 6 KM dari tempatku berdiri saat ini. Sampai di PHPA Taman Nasional Gede Pangrango, kami segera melapor bahwa kami ingin mendaki gunung ini.



***



Setelah beristirahat, sekitar jam 2 dini hari, aku beserta rombongan memulai perjalanan menuju puncak Gede. Aku perempuan satu-satunya dari sepuluh orang lelaki.
Rasanya aku ingin menyerah tetapi dengan sabar Dion membimbingku menaiki tanjakan-tanjakan terjal yang di dominasi dengan bebatuan licin. Lengah sedikit, pasti bisa tergelincir. Karena kami berada di ketinggian 2.500 mdpl menuju ke tinggian 2958 mdpl, kadar oksigen pun semakin menipir. Rasanya sulit sekali untuk bernapas.
“Sekarang kita udah sampe di tanjakan setan. Satu setengah jam lagi kita sampe di puncak Gede. Hati-hati semakin ke atas jalurnya semakin licin. Semangat temen-temen!” ujar Edi penuh semangat.
Kenapa dinamakan tanjakan setan? Karena tanjakan ini memiliki kemiringan sekitar 70 derajat dengan ketinggian 50 meter yang di dominasi oleh batu-batu.
”Kita istirahat dulu atau lanjut aja nih? Kalo capek, jangan di paksain!” tanya Egar.
”Lanjut...!” ujar kami bersemangat.
Satu setengah jam berlalu, tak terasa kami sudah tiba di puncak Gede. Pemandangan di bawah adalah kawah Gunung Gede yang mengeluarkan asap vulkanik. Kawah besar dengan diameter sekitar 800 M, menganga di depan kami.
Di sebelah kiri, terlihat puncak Pangrango dengan ketinggian 3008 mdpl. Begitu gagah dan mempesonanya puncak Pangrango itu.
Tak henti-hentinya aku mengucap syukur dan memuji. Begitu agung dan indahnya ciptaan Tuhan layaknya jelmaan surga. Sungguh luar biasa. Tuhan menciptakan ini semua tidak gratis. Untuk mendapatkan semua ini kita harus rela bersusah payah.
Kami semua berdiri berjejer berfoto untuk mengabadikan momen indah ini. Senyum puas dan bahagia terpancar di wajah kami semua.
Dion mengeluarkan sepucuk bunga Edelweis dari dalam saku jaketnya. Tenyata dia memetiknya ketika kami beristirahat di dekat hamparan padang Edelweis yang cantik dan terbalut udara segar khas pegunungan.
”Edelweis ini sengaja aku petik untuk kamu, Arina. Semoga cinta kita abadi seperti bunga ini.” suara Dion begitu tulus sambil menyodorkan Edelweis ke hadapanku.
Aku meraih bunga itu dengan tangan gemetar. Dengan sigap Dion menghapus air mata yang membasahi pipiku.
”Terima kasih, Dion.” bisikku gemetar.
I love you, Arina.” Dion langsung mendekap mesra tubuh mungilku.
Love you too, Dion.”
”Kamu mau gak terima lamaran aku setelah kita lulus kuliah nanti? Karena kamu cuma satu, aku rela berkorban demi gadis yang paling aku sayang.” ujarnya mantap.
”Aku takut kamu ninggalin aku lagi, Di.”
”Gak percaya?” Dion membalikkan badannya seraya membuka mulut.
”Jangan, Dion!” aku tahu apa yang akan dilakukan Dion. ”Gak perlu kamu meneriakkan cintamu lagi. Cintamu sudah tersimpan di hatiku.” ujarku sambil memejamkan mata.
Teman-teman Dion memperhatikan kami sambil menahan tawa.
Dion sudah membuka mulutnya lebar-lebar tetapi aku keburu membekap mulutnya rapat-rapat.

Tamat

Senin, 17 Juni 2013

Seperti Kamu, Tapi Bukan Kamu

Lelaki itu,
terus menatapku ketika ia tidak sengaja menabrakku
Lelaki itu,
mirip sekali denganmu,
lelaki yang menjamah hatiku 6 bulan yang lalu

Hidung, alis, mata serta rambutnya sama persis denganmu
tetapi lelaki itu seorang pelukis
bukan seorang penulis
apalagi seorang yang puitis

Cara jalan serta gaya bicaranya pun persis seperti dirimu
dia melukiskan kecintaannya lewat sebuah kanvas
sedangkan dirimu lewat selembar kertas

Lelaki itu,
tersenyum ramah seperti senyumanmu
ketika pertama kali kita bertemu
Lelaki itu,
tampak malu-malu
seperti ketika pertama kali kamu mengajakku berkencan

Tatapan matanya,
menggairahkan namun mantap
seperti tatapanmu ketika kamu menyatakan cinta kepadaku

Kamu dan lelaki itu,
dua sosok yang berbeda tetapi sama
sama-sama datang dengan tiba-tiba dan tak terduga

Minggu, 16 Juni 2013

Makna Hidup dari Bocah Ojek Payung

            Dua bulan yang lalu, aku dan kedua temanku ingin makan siang. Kali ini makan siangnya bukan di kantin kampus, melainkan disebuah warung makan yang letaknya masih satu komplek dengan kampus. Ketika itu memang gerimis tapi kami bertiga terus saja berjalan tanpa memakai payung. Gerimis pun semakin lama semakin kencang.
Salah satu temanku, Olla, buru-buru mengeluarkan payung dari dalam tasnya. Karena ukuran payung yang tidak memungkinkan untuk menampung 3 orang, akhirnya aku memanggil bocah ojek payung yang sering berkeliaran di kawasan kampus. Kebetulan dia dan teman-temannya sedang bercengkrama di bawah pohon sambil mencipratkan air dan tertawa bersama. Jujur saja aku baru pertama kali menggunakan jasa ojek payung.
Bocah perempuan itu menyerahkan payungnya kepadaku. Dengan santainya dia jalan di tengah hujan tanpa memakai payung. Aku menarik tangannya untuk mendekat dan berjalan beriringan denganku.
“Dek, jangan ujan-ujanan nanti kamu sakit. Sini Kakak payungin aja.” kataku sambil mendekatinya.
“Gak apa-apa kok, Kak.” jawabnya dengan wajah polosnya.
Aku tetap memaksa bocah itu untuk mendekatiku. Aku betul-betul tidak tahu kalau ojek payung itu harus rela hujan-hujanan sedangkan payung miliknya diberi kepada yang membayar jasanya. Tapi tetap saja aku tidak tega melihat bocah perempuan ini hujan-hujanan walaupun kelihatannya bocah itu senang.
            Sepanjang jalan menuju warung makan, aku berbincang-bincang dengannya. Aku memang suka dengan anak-anak apalagi anak yang nasibnya kurang beruntung seperti bocah perempuan itu
            Namanya Wulan. Kulitnya coklat layaknya anak yang sering panas-panasan di bawah terik matahari. Rambutnya pun pirang. Wulan begitu lugu dan terkesan malu-malu. Dia kelas 1 SD. Sekolahnya khusus anak jalanan di daerah Pulomas Jakarta Timur. Dia anak pertama dari tiga bersaudara. Ibunya pengamen dan Ayahnya pengangguran.
            Dia menenteng plastik putih transparan yang berisi kerupuk. Katanya sih untuk bekal kalau-kalau Wulan merasa lapar. Tak tega rasanya melihat anak sekecil itu harus mencari uang demi sesuap nasi, hujan-hujanan pula. Aku membuka tas dan kebetulan ada air mineral bekas minumku.
            Kalau tidak musim hujan, Wulan dan teman-teman sebayanya mengamen. Sehabis pulang sekolah mereka ramai-ramai turun ke jalan untuk mencari nafkah. Ironis, umur mereka yang masih sangat belia dihabiskan untuk mencari nafkah sedangkan disisi lain, anak seusia mereka seharusnya menghabiskan hari-harinya dengan bermain dan bersenang-senang.
            “Kamu haus gak? Ini minuman Kakak ambil aja.”
            “Makasih, Kak.” Wulan meraihnya sambil tersenyum canggung.
            “Kamu gak sakit sering ujan-ujanan begini, Dek?”
            “Engga kok, Kak. Aku kan udah biasa ujan-ujanan.”
           Kasihan, kelihatannya dia kelaparan. Aku tidak enak hati hanya membayar jasanya saja. Tiba di rumah makan, aku berinisiatif mengajaknya untuk masuk dan menyuruhnya memesan makanan. Dia terlihat bingung saat aku memberinya daftar menu.
            “Kamu mau makan apa, Lan?”
            “Hmm… Aku minum aja deh ka.”
            “Kamu gak laper? Gak apa-apa pesen makanan aja. Nasi goreng mau?”
            Wulan hanya mengangguk.
            Lima belas menit kemudian, pesanan kami datang. Wajahnya Wulan begitu berseri-seri. Mungkin dia jarang sekali makan seenak ini. Mungkin juga cacing-cacing di dalam perutnya sedang bersorak-sorak ria. Tetapi ketika menyantap sesuap, wajahnya tidak berseri seperti tadi. Aku heran, apa mungkin Wulan tidak doyan atau nasi gorengnya terlalu pedas?
            “Nasinya pedes yah, Dek?” tanyaku sambil mencicipi nasi gorengnya. “Ah, enggak pedes kok.”
            “Nasinya kebanyakan Kak. Kalo dibungkus boleh gak?” jawabnya dengan suara pelan.
            “Abisin aja di sini sayang lho kalo dibuang.”
            “Aku mau kasih nasinya untuk adek sama Ibu aku, Kak. Pasti mereka di rumah belom makan deh.”
            Aku terdiam sejenak mendengar perkataan Wulan barusan. Anak sekecil ini aja mikirin adek sama Ibunya yang belom makan. Sedangkan gue, gue bisa makan apa aja yang gue mau tanpa mikirin orang tua di rumah udah makan atau belom. Kataku dalam hati.
            “Oh mau dibungkus? Yaudah kamu makan 2 suap lagi deh abis itu nanti Kakak panggil pelayannya untuk bungkusin nasi kamu.”
            Wulan melanjutkan makannya.
           Biasanya aku paling lahap jika makan di warung makan itu tetapi kali ini sepertinya nafsu makanku berkurang. Aku memaksa untuk menelan makanan dihadapanku.
            Selesai makan, kami balik lagi ke kampus. Aku membayar jasa ojek payung Wulan. Dia berterima kasih dan meninggalkan aku dengan berlari kecil. Aku pun ikut tersenyum melihat wajah berserinya.
            Pertemuan yang singkat dengan Wulan membuatku sadar dan berpikir. Bocah kecil seperti Wulan saja rela berjuang demi sesuap nasi. Sedangkan selama ini uang jajan aku belanjakan untuk barang-barang yang tidak bermanfaat dan nongkrong sana-sini bareng teman. Aku tidak pernah berpikir bagaimana susahnya orang tua mencari nafkah untuk keluarga. Walaupun aku dari keluarga mampu, tetap saja uang itu akan habis jika tidak dipergunakan dengan baik. Aku juga tidak pernah membayangkan harus hidup seperti Wulan atau aku yang berganti posisi menjadi Wulan.

            Pertemuan singkat namun penuh makna. Makna hidup yang secara tidak langsung Wulan ajarkan kepada diriku. Makna hidup yang tidak pernah diajarkan dibangku sekolah. Makna hidup juga tidak melulu diajarkan dari orang dewasa yang sudah makan asam garamnya hidup tetapi anak kecilpun bisa mengajarkan makna hidup itu.