Dua bulan yang lalu, aku dan kedua
temanku ingin makan siang. Kali ini makan siangnya bukan di kantin kampus,
melainkan disebuah warung makan yang letaknya masih satu komplek dengan kampus.
Ketika itu memang gerimis tapi kami bertiga terus saja berjalan tanpa memakai
payung. Gerimis pun semakin lama semakin kencang.
Salah satu temanku, Olla, buru-buru mengeluarkan payung dari dalam
tasnya. Karena ukuran payung yang tidak memungkinkan untuk menampung 3 orang,
akhirnya aku memanggil bocah ojek payung yang sering berkeliaran di kawasan
kampus. Kebetulan dia dan teman-temannya sedang bercengkrama di bawah pohon
sambil mencipratkan air dan tertawa bersama. Jujur saja aku baru pertama kali
menggunakan jasa ojek payung.
Bocah perempuan itu menyerahkan payungnya kepadaku. Dengan santainya dia
jalan di tengah hujan tanpa memakai payung. Aku menarik tangannya untuk
mendekat dan berjalan beriringan denganku.
“Dek, jangan ujan-ujanan nanti kamu sakit. Sini Kakak payungin aja.”
kataku sambil mendekatinya.
“Gak apa-apa kok, Kak.” jawabnya dengan wajah polosnya.
Aku tetap memaksa bocah itu untuk mendekatiku. Aku betul-betul tidak
tahu kalau ojek payung itu harus rela hujan-hujanan sedangkan payung miliknya
diberi kepada yang membayar jasanya. Tapi tetap saja aku tidak tega melihat bocah
perempuan ini hujan-hujanan walaupun kelihatannya bocah itu senang.
Sepanjang jalan menuju warung makan,
aku berbincang-bincang dengannya. Aku memang suka dengan anak-anak apalagi anak
yang nasibnya kurang beruntung seperti bocah perempuan itu
Namanya Wulan. Kulitnya coklat layaknya
anak yang sering panas-panasan di bawah terik matahari. Rambutnya pun pirang.
Wulan begitu lugu dan terkesan malu-malu. Dia kelas 1 SD. Sekolahnya khusus
anak jalanan di daerah Pulomas Jakarta Timur. Dia anak pertama dari tiga
bersaudara. Ibunya pengamen dan Ayahnya pengangguran.
Dia menenteng plastik putih transparan
yang berisi kerupuk. Katanya sih untuk bekal kalau-kalau Wulan merasa lapar.
Tak tega rasanya melihat anak sekecil itu harus mencari uang demi sesuap nasi,
hujan-hujanan pula. Aku membuka tas dan kebetulan ada air mineral bekas
minumku.
Kalau tidak musim hujan, Wulan dan
teman-teman sebayanya mengamen. Sehabis pulang sekolah mereka ramai-ramai turun
ke jalan untuk mencari nafkah. Ironis, umur mereka yang masih sangat belia
dihabiskan untuk mencari nafkah sedangkan disisi lain, anak seusia mereka
seharusnya menghabiskan hari-harinya dengan bermain dan bersenang-senang.
“Kamu haus gak? Ini minuman Kakak
ambil aja.”
“Makasih, Kak.” Wulan meraihnya
sambil tersenyum canggung.
“Kamu gak sakit sering ujan-ujanan
begini, Dek?”
“Engga kok, Kak. Aku kan udah biasa
ujan-ujanan.”
Kasihan, kelihatannya dia kelaparan. Aku
tidak enak hati hanya membayar jasanya saja. Tiba di rumah makan, aku berinisiatif
mengajaknya untuk masuk dan menyuruhnya memesan makanan. Dia terlihat bingung
saat aku memberinya daftar menu.
“Kamu mau makan apa, Lan?”
“Hmm… Aku minum aja deh ka.”
“Kamu gak laper? Gak apa-apa pesen
makanan aja. Nasi goreng mau?”
Wulan hanya mengangguk.
Lima belas menit kemudian, pesanan
kami datang. Wajahnya Wulan begitu berseri-seri. Mungkin dia jarang sekali
makan seenak ini. Mungkin juga cacing-cacing di dalam perutnya sedang
bersorak-sorak ria. Tetapi ketika menyantap sesuap, wajahnya tidak berseri
seperti tadi. Aku heran, apa mungkin Wulan tidak doyan atau nasi gorengnya
terlalu pedas?
“Nasinya pedes yah, Dek?” tanyaku
sambil mencicipi nasi gorengnya. “Ah, enggak pedes kok.”
“Nasinya kebanyakan Kak. Kalo dibungkus
boleh gak?” jawabnya dengan suara pelan.
“Abisin aja di sini sayang lho kalo
dibuang.”
“Aku mau kasih nasinya untuk adek
sama Ibu aku, Kak. Pasti mereka di rumah belom makan deh.”
Aku terdiam sejenak mendengar
perkataan Wulan barusan. Anak sekecil ini aja mikirin adek sama Ibunya yang belom
makan. Sedangkan gue, gue bisa makan apa aja yang gue mau tanpa mikirin orang
tua di rumah udah makan atau belom. Kataku dalam hati.
“Oh mau dibungkus? Yaudah kamu makan
2 suap lagi deh abis itu nanti Kakak panggil pelayannya untuk bungkusin nasi
kamu.”
Wulan melanjutkan makannya.
Biasanya aku paling lahap jika makan
di warung makan itu tetapi kali ini sepertinya nafsu makanku berkurang. Aku memaksa
untuk menelan makanan dihadapanku.
Selesai makan, kami balik lagi ke
kampus. Aku membayar jasa ojek payung Wulan. Dia berterima kasih dan
meninggalkan aku dengan berlari kecil. Aku pun ikut tersenyum melihat wajah
berserinya.
Pertemuan yang singkat dengan Wulan
membuatku sadar dan berpikir. Bocah kecil seperti Wulan saja rela berjuang demi
sesuap nasi. Sedangkan selama ini uang jajan aku belanjakan untuk barang-barang
yang tidak bermanfaat dan nongkrong sana-sini bareng teman. Aku tidak pernah
berpikir bagaimana susahnya orang tua mencari nafkah untuk keluarga. Walaupun aku
dari keluarga mampu, tetap saja uang itu akan habis jika tidak dipergunakan
dengan baik. Aku juga tidak pernah membayangkan harus hidup seperti Wulan atau
aku yang berganti posisi menjadi Wulan.
Pertemuan singkat namun penuh makna.
Makna hidup yang secara tidak langsung Wulan ajarkan kepada diriku. Makna hidup
yang tidak pernah diajarkan dibangku sekolah. Makna hidup juga tidak melulu
diajarkan dari orang dewasa yang sudah makan asam garamnya hidup tetapi anak
kecilpun bisa mengajarkan makna hidup itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar