Sabtu, 16 Maret 2013

Cinta


Cinta adalah rasa yang kuungkapkan disetiap hembusan nafasku
Yang menggetarkan setiap detak jantungku
Yang menyerap hingga pori-pori terdalam kulit ini
Rasa yang membuatku hanya memikirkan dirimu
Rasa yang membuat jantung berdetak lebih cepat ketika
menyebutkan namamu
Matahari, bulan serta bintang menjadi saksi
Bahkan peluh serta air mata ini menjadi saksi betapa
dalamnya rasa ini
Cinta ibarat mentari yang terbit dari timur
Ibarat angin yang berhembus
Ibarat bulan dan bintang yang setia menyinari bumi dikala
gelap gulita
Ibarat hujan yang turun membasahi bumi
Aku hanya bisa mengibaratkan cinta itu seperti ini
Karena cinta hanya bisa dirasakan dan sulit untuk diungkapkan

Kamis, 14 Maret 2013

Perbincangan Singkat dengan Pengamen Jalanan

          Sekitar pertengahan tahun 2012, aku sedang duduk di halte Rawasari menunggu bis 43 jurusan Priuk-Cililitan. Ketika itu aku sedang membaca novel dan ada seorang pengamen membawa gitar. Seperti umumnya pengamen , dia berantakan, rambut kriting gondrong seperti tidak pernah dicuci setahun dan sepatu yang sudah minta diganti.

“Permisi Mbak” katanya langsung duduk disebelahku
“Oh iya Mas” jawabku tanpa menoleh
“Mau pulang Mbak? Lagi nunggu 43?” katanya basa-basi
“Iya nih Mas” jawabku singkat
“Kuliah dimana Mbak?”
“Di UNJ Mas” aku masih sibuk membaca novel
“Jurusan apa Mbak?” pertanyaannya kali ini membuatku menoleh kearahnya. Ternyata pengamen itu yang biasa aku lihat di metro mini.
“Bahasa Jepang Mas” jawabku tersenyum
“Wah hebat yah Mbak. Saya juga punya temen tuh di UNJ anak seni rupa kebanyakan Mbak. Tapi udah lama gak ketemu sama mereka. Sekarang UNJ udah bagus yah Mbak” katanya panjang lebar
“Keren dong temennya anak seni rupa. Sama kaya mas semua tuh modelnya berantakan hehehe becanda Mas” kataku sok asik
“Hehehe bisa aja nih si Mbak”
“Mas udah berapa lama ngamen?”
“Baru kok mbak. Saya ngamen kalo lagi iseng aja Mbak”
“Iseng gimana maksudnya? Emang kerjaan selain ngamen apa Mas?”
“Saya biasa ngelukis Mbak”
“Ngelukis? Pelukis maksudnya?” tanyaku terheran-heran
“Iya Mbak masa saya bohong. Mbak tau IKJ (Institut Kesenian Jakarta) kan? Saya lulusan sana Mbak”
Aku semakin kaget bahwa dia lulusan IKJ. Gak nyangka pengamen dekil begini ternyata sarjana, kataku dalam hati. “Yang bener Mas? Berarti Mas seniman dong?”

Orang-orang disekitar kami memperhatikan kami yang sedang asik mengobrol. Mungkin mereka pikir, aku orang yang bodoh, mau saja diajak ngobrol sama pengamen jalanan begitu.

“Ya gitu deh Mbak. Mbak suka seni gak?”
“Suka banget Mas. Dari kecil kalo ngeliat lukisan atau karya seni lainnya saya sering mikir, hebat yah yang buat ini dan saya gak memuji aja Mas, saya suka mengartikan maksud dari lukisan itu apa? dan pesan apa yang disampaikan dari si pelukis itu. Menurut saya semua seniman itu keren mas walaupun tampilan luarnya berantakan hehehe”
“Asik juga yah ngobrol sama Mbak ini. Saya kira Mbak judes abis tampangnya galak sih” katanya cengar-cengir “Kapan-kapan main dong Mbak ke IKJ. Nanti saya kenalin deh sama temen-temen saya yang pelukis”
“Wah boleh tuh. Insya Allah yah. Seni itu udah jadi kebutuhan manusia Mas. Bahkan ketika kita memilih baju yang pas untuk dipakai, itu salah satu dari seni Mas. Bener gak?”
“Bener Mbak saya setuju. Tapi banyak orang yang berpendapat seni itu sulit, ribet, berantakan seperti saya ini Mbak”
“Itu sih tergantung orangnya Mas. Tapi saya malah suka liat seniman yang acak-acakan gak keurus. Itu baru ‘nyeni’ namanya. Kalo seniman rapi, bersih, wangi malah kesannya karyawan kantoran Mas hehehe”
“Iya juga yah Mbak. Oke deh sukses yah Mbak kuliahnya”
“Amin… sukses juga yah Mas sama profesinya dan jangan lama-lama ngamen mas banyak debu nanti jerawatan loh! hahaha”
“Hahaha iya Mbak salam kenal yah” katanya tersenyum
“43 nya udah dateng tuh. Sampe ketemu lagi yah Mas” kataku sambil bersiap pergi

 Dari perbincangan singkat dengan seorang pengamen hari ini, aku mendapat banyak pelajaran darinya. Jangan menilai seseorang dari tampilan luarnya saja. Dengan berpakaian yang dekil, berantakan dan bertattoo belum tentu dia orang jahat. Dan orang yang terlihat rapi belum tentu dia orang baik. Bisa saja itu sebuah kamuflase untuk menutupi dirinya yang sebenarnya. Dan jangan sekali-kali memandang seseorang dari pekerjaannya. Sekalipun dia seorang pengemis tetapi kita harus menghormatinya dan kalau perlu sisi positif darinya bisa kita tiru untuk hidup kita.
Semenjak perbincangan singkat itu, aku mulai merubah paradigma yang selama ini atau bahkan kebanyakan orang berpandangan yang sama. Bukankah semua manusia itu sama di hadapan Allah? Dan bukankah Allah menciptakan manusia menjadi kaya dan miskin, supaya mereka bisa saling berbagi satu sama lain? Yang membedakan yaitu manusia yang beriman dan manusia yang tidak beriman. Mou ichido (sekali lagi), Don’t judge book from the cover. Machigaette shimaimashita. gomenasai ne...

Rabu, 13 Maret 2013

Aku atau Kekasihmu?

             “Selamat pagi…” sapa Nadia ketika membuka jendela kamarnya. Menghirup dalam-dalam udara yang masih segar sambil menikmati semilir angin pagi. “Hari ini enaknya kemana yah Ajak Tari shopping aja deh.” Nadia meraih handphone yang tergeletak di meja belajar. “Halo, Tari.”
            “Ada apa nih pagi-pagi udah nelpon? Ada gosip baru yah? Hehehe..”
            “Gosip melulu nih kerjaannya. Gue mau ngajak shopping nih nanti siang. Lo gak sibuk kan, Tar?”
            “Hmm.. gimana yah?”
            “Gak bisa yah? Ayoklah, Tar! Kita kan udah lama gak kumpul berdua lagi.”
            “Sebenernya gue udah ada janji sama Rangga.” Jawabnya agak berat. Mungkin tidak enak hati menolak ajakan Nadia.
            “Oh gitu.” Nadia tersenyum getir.
            “Maaf yah, Nadia. Besok deh gue janji kita shopping bareng. Oke?”
            “Iya gak apa-apa kok. Oke deh sampai ketemu besok.” Nadia segera menutup telponnya.

            Keesokan harinya, Nadia mengingatkan Tari untuk menepati janjinya tetapi dia beralasan ingin menjenguk orang tua Rangga yang sedang sakit. Ini bukan pertama kalinya Tari menolak ketika Nadia ajak untuk bertemu. Tiga bulan belakangan, semenjak proses pendekatan sampai akhirnya berpacaran, Tari agak berubah. Dia selalu beralasan pengin kesini sama Rangga, kesitu sama Rangga. Selalu Rangga! Mungkin begitu ketika kasmaran, seseorang bisa lupa segalanya.

***
            Nadia duduk bersandar disudut kelas sambil memperhatikan gerak-gerik Tari. Sedari tadi, dia sibuk dengan telepon genggamnya. Dia tidak menyapa Nadia apalagi mengajak untuk mengobrol.
“Mau kemana Nad?” Tanya Tari ketika Nadia keluar kelas.
            “Kantin. Mau ikut?”
            “Tumben sendirian, biasanya ngajak gue.”
            “Yaudah ayo kalo mau ikut!” Nadia menjawab sekenanya.
            “Engga deh Nad bentar lagi gue dijemput Rangga, kok. Sekalian mau makan siang sama dia.”
            “Oh, pergi aja sana sama pacar baru lo yang gak penting itu!” katanya ketus.
            “Kok lo jadi kasar begini sih, Nad? Lo sirik karena gak punya pacar?” balas Tari gak kalah emosi.
            “Eh denger yah, Tari! Baru punya cowok aja lo udah lupa sama gue, sahabat lo sendiri. Inget Tar inget! Udah berapa kali lo selalu ingkar janji. Alesannya pergi sama Rangga, udah ada janji lah, makan malem lah, apa lah itu. Sadar gak sih lo? Norak tau gak!” Nadia terus mengoceh tanpa kontrol.
            “Bilang aja Nad lo iri sama gue! Gak usah lo cari-cari kesalahan gue. Untuk kali ini gue gak mau diganggu orang lain termasuk lo, sahabat gue sendiri.” Mata dan wajah Tari memerah menahan marah.
            “Orang yang  baru lo kenal 3 bulan lebih lo percaya daripada sahabat lo selama empat tahun. Gue kecewa sama lo!”
            “Kalo emang lo sahabat gue, harusnya lo ngertiin Nad.”
            “Lo bilang ngertiin? Seharusnya lo mikir, gimana jadi gue. Gimana rasanya dicuekin sahabat sendiri. Coba bayangin deh seandainya lo diposisi gue gimana rasanya? Sakit Tar sakit. Kalo lo lebih milih dia, anggep aja kita gak pernah saling kenal.” dengan nada gemetar Nadia pergi meninggalkan Tari.

            Semenjak kejadian itu, Nadia dan Tari bermusuhan. Pernah suatu ketika mereka berpapasan dan dengan spontan mereka membuang muka seakan tidak melihat dan saling kenal.  
13 September adalah hari persahabatan Nadia dan Tari. Setiap tahun mereka selalu merayakannya dan berdoa bersama semoga persahabatan mereka masih terus terjaga sampai mereka sudah tua dan salah satu darinya ikut mengantarkan ke peristirahatan terakhir. Nadia mengirimi Tari sms, mengingatkan bahwa ini hari yang mereka tunggu-tunggu. Sebenarnya Nadia gengsi sms Tari duluan tapi yasudahlah semoga dibalas smsnya “halo Tari. Inget kan hari ini hari apa? Gue tunggu di café biasa yah jam 4 sore. Thanks”
            Tari tidak membalas smsnya.
            Tepat jam 4 sore Nadia sudah tiba di café. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 5, tapi kok Tari belum datang juga? setelah menunggu selama 2 jam, akhirnya Nadia meninggalkan café dengan perasaan yang sangat kecewa. “Jahat lo Tar. Gue benci!” Nadia mengusap air matanya dan memberhentikan taksi.

***

            “Tari, si Nadia sakit apaan sih?” tanya Andri kepada Tari.
            “Nadia sakit?” jawab Tari bingung.
            “Masa sahabat sendiri sakit gak tau sih? Wah jahat lo!”
            Tari menarik tasnya dan berlari keluar kelas. “Sahabat macem apa gue, sahabat sakit gue gak tau? Gue emang udah jahat. Gue egois!” Tari membatin sambil menahan tangis. Tari mengambil telepon genggamnya dan mencari nomer yang dituju yaitu Nadia.

***

            “Assalamualaikum..” Tari mengetuk pintu rumah Nadia.
            “Waalaikumsalam” Jawab dari dalam rumah. Ibunya Nadia yang membukakan pintu “Eh Tari, Tante kira siapa pagi-pagi begini ada tamu.”
            “Nadianya ada Tante?”
“Adak ok. Yuk masuk!” tanya Tante Dian ramah.
            “Iya, Tante. Permisi aku keatas dulu.”
            “Hai Nad.” Sapa Tari ketika membuka pintu kamar Nadia. “Nadia.” sapanya lagi lembut. Nadia sedang tidur. Tari tidak berani membangunkannya. 2 jam lamanya Tari menunggu Nadia bangun dari tidurnya.
            “Ngapain lo kesini?” Tanya Nadia ketika membuka mata.
            “Mau jengukin lo, Nad. Masa sahabat sakit gue....”
            Nadia memotong pembicaraan Tari “Sahabat? Selama ini lo kemana aja? Sekarang gue sakit lo peduli. Senen lo liat gue sakit? Seneng kan lo selama ini gak ada yang ganggu lo pacaran?” Suara Nadia semakin meninggi.
            “Gue minta maaf selama ini gue egois, Nad.” Suaranya semakin pelan penuh penyesalan.
            “Masih inget minggu lalu hari persahabatan kita? Kenapa lo gak dateng? Kenapa lo gak kasih kabar? Gue nunggu 2 jam lebih. Lo orang yang paling jahat yang pernah gue kenal!” Nadia sekuat tenaga menyembunyikan air matanya.
            “Maaf soal itu Nad. Gue bisa jelasin semuanya.”
            “Mau alesan apa lagi?”
            “Gue nyesel banget Nad.” Tari menangis.
            “Gue kangen Tari yang dulu. Tari yang selalu ada disaat gue butuh. Tari yang bisa bikin gue ketawa.” Kali ini air matanya menetes keseluruh pipinya.
          Tari memeluk erat Nadia “Maafin gue, Nad. Karena keegoisan gue, gue hancurin persahabatan kita.”
            Nadia membalas pelukan sahabatnya sambil menangis tersedu-sedu. “Mungkin gue yang egois. Gue iri sama lo yang udah punya pacar dan gue gak bisa lo jauh-jauh dari gue.”   
“Intinya, mau maafin gue gak nih? Udahan ah nangis-nangisnya! Sakit nih bahu gue nahan badan yang gendut.” Tari menggoda.
            Nadia melepas pelukannya dengan muka sebal. “Tari… sempet-sempetnya ngajak bercanda.” Nadia memukul lengan Tari
            “Hehehe udah dong jangan nangis lagi yah Nadia sahabatku yang baik hati. Kita baikan. Oke?” Tari mengusap air mata di pipi Nadia
            “iya Tari sahabatku yang pesek dan nyebelin…” sekali lagi Nadia memeluk Tari.

Minggu, 10 Maret 2013

Kenangan Manis Tentang Kita


Aku masih ingat ketika pertama kali kita bertemu
Saling bertatap muka dan memandang, walau kau terkesan acuh
Aku masih ingat ketika kita saling bercakap-cakap
Sejak saat itu bayangan dirimu selalu mengikuti kemana pun aku pergi
Kencan pertama, sajak-sajak penyejuk hati dan pujian-pujian tentang diriku
Aku pun masih ingat ketika kau pinjamkanku jaket ketika hujan
Meminjamkan bahumu untuk aku sandarkan
Dan ketika kau menyatakan cinta kepadaku
Dan ciumanmu yang masih terasa di keningku
Begitu dalamnya cinta ini sampai-sampai aku takut kehilangan dirimu
Sampai saat ini pun aku selalu mengingat-ingat kenangan manis kita berdua
Namamu selalu aku sebut ketika ku berdoa
Tidak mudah melupakanmu begitu saja, sosok yang telah membuatku jatuh hati dengan kesederhanaan yang kau miliki
Sosok yang telah menjadi bagian dari hidupku
Ketika merindukanmu, aku hanya bisa meraba sketsa mawar darimu sambil mengingat senyuman tulusmu dan cerita-ceritamu yang membuat aku tertawa
Aku berharap cinta kita bukan untuk sesaat saja tetapi akan selalu bersemi hingga ajal yang memisahkan kita