Pukul 7 pagi
Nadine merasa tubuhnya semakin menggigil. Suhu tubuhnya masih di atas normal
setelah seminggu lamanya tak kunjung sembuh. Bibirnya pecah-pecah, mukanya
pucat pasi seperti mayat hidup. Tubuhnya sudah kurus seperti anak kurang gizi.
Selimut tebal pun tak mampu membuat tubuhnya hangat. Segala macam obat-obat
dokter tak mempan untuknya.
Bocah 9 tahun ini hidup dengan Kakek dan Mbok Minah, pembantu yang sudah
lebih dari sepuluh tahun bekerja di rumah Tuan Bagas, pengusaha tekstil sukses
sekaligus orang terpandang. Setelah kepergian Neneknya sebulan yang lalu, semua
keperluan Nadine diurus Mbok Minah.
Ayahnya dimasukkan ke Pesantren
karena hobinya yang sering mabuk-mabukan dan hanya menghabiskan harta orang
tuanya. Sedangkan Ibunya, bekerja di Kalimantan. Mereka sudah setahun bercerai.
Setelah bercerai, Ibunya langsung pergi ke Kalimantan dan tak pernah datang
mengunjungi Nadine. Hanya mainan dan uangnya saja yang tiba.
“Nadine kangen pengin nyamperin Nenek.”
Entah sadar atau tidak, kata-kata ngaco itu terus keluar dari mulutnya. Dia
juga pernah bertingkah aneh dengan memanjat pohon mangga di pekarangan
rumahnya. Sempat dimarahi oleh Mbok tapi tetap saja kemauan Nadine tidak bisa
dihalangi. “Biar aja Nadine manjat. Itu ada Nenek lambai-lambai diatas
pohon. Nadine mau nyamperin Nenek.” Siapa yang bulu kuduknya tidak
merinding mendengar bocah berbicara seperti itu.
Pukul 9 pagi Nadine dibawa ke rumah
sakit oleh Mbok dan Tardi, tukang bersih-bersih rumput di rumah Tuan Bagas.
“Ke mana bapaknya?” tanya Dokter
yang keluar dari kamar periksa dengan wajah tanpa ekspresi.
“Hmm… Bapaknya gak ada, Dok.” jawab
Tardi gugup.
“Anda siapanya?”
“Saya cuma kuli doang, Dok.”
“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya
Mbok dengan wajah cemas sambil mengepalkan kedua tangannya.
“Innalillahi, maaf, pasien sudah
pergi sebelum tiba di rumah sakit. Seandainya kalian lebih cepat mengantarnya
ke sini, mungkin saya bisa membantunya. Sekali lagi saya minta maaf.”
“Apa?” Mbok terkejut. Suaranya
membuat semua yang ada disekitarnya menoleh kearahnya. Kemudian Mbok berteriak
histeris diikuti dengan cucuran air matanya.
Tardi hanya bengong tak bisa
berkata-kata.
“Mbak Nadine…. Maafin Mbok yah, Nak…
Selama ini Mbok suka marahin kamu, Nak. Mbok suka mukulin kamu kalo kamu gak
nurut sama Mbok…” Mbok terisak sambil meninju tembok.
“Mbok sabar Mbok. Istighfar!
Mendingan kita cepet-cepet kasih kabar ke Tuan.” ujar Tardi sambil menuntun
Mbok untuk duduk.
Setengah jam kemudian, Tuan Bagas
dan Tante Ami tiba di rumah sakit dan langsung menuju rumah duka untuk
mempersiapkan segala keperluan untuk pemakaman. Seluruh keluarga dihubungi
untuk segera datang begitu juga dengan Ayah dan Ibunya. Kabar kepergian Nadine
membuat semua orang kaget tidak percaya. Bagaimana tidak, belum genap dua bulan
sang Nenek meninggal dan kali ini cucunya ikut menyusul.
Para pelayat sudah berkumpul di
ruang tamu rumah Tuan Bagas. Ruang tamu itu biasanya dipakai hanya untuk
menyambut tamu-tamu penting saja. Mereka duduk bersila mengelilingi jenazah
sambil membacakan doa-doa untuknya. Ada yang menangis ada pula yang masih tidak
percaya karena baru saja kemarin sore Nadine masih bermain-main dengan
bocah-bocah tetangganya.
“Mi, si Nella udah dihubungin?”
tanya Tante Dira kepada Tante Ami.
“Udah kok. Dari Kalimantan dia
langsung menuju ke sini. Dia dapet tiket jam 4 sore. Jadwal yang lebih awal
udah habis.”
“Berarti kira-kira dia tiba di sini
sekitar abis maghrib.”
“Doain aja semoga gak macet.” sahut
Om Eko.
“Si Ardan gimana, Ko? Orang
pesantren udah dihubungin?”
“Udah, Mbak. Aku nitip pesen ke
orang pesantren jangan kasih tau kenapa tiba-tiba dia disuruh pulang. Nanti
mereka anter Ardi ke sini kok.”
“Syukur deh. Tinggal tunggu si Nella
aja nih.”
“Pokoknya malem ini juga Nadine
harus dikubur. Sebelum maghrib, Nadine udah harus dimandiin. Pas Nella dateng,
langsung kita ke pemakaman.” pinta Tuan Bagas.
“Tapi pemakaman paling malem sampe
jam 5, Pak.” jawab Tante Dira.
“Terus harus nunggu besok pagi, gitu?
Kasian Nadine. Jenazah harus buru-buru dikubur. Liat tuh badannya udah berubah
jadi warna biru begitu. Dosa kita sebagai keluarga gak cepat-cepat nguburin
dia.”
“Tapi…” gumam Om Eko.
“Gak ada tapi-tapian. Kalian urus
semua masalah pemakamannya. Bayar tukang gali kuburnya! Kalo ada uang, pasti
mereka mau kerja kok. Kasih aja 2 kali lipat dibanding biasanya.” Titah Tuan
Bagas.
Tante Dira, Tante Ami dan Om Eko
hanya mengangguk. Mereka tidak berani berkata tidak.
Semua kolega bisnis dan tamu-tamu penting
Tuan Bagas mulai berdatangan. Ada pula
yang tidak hadir tetapi mengirimkan karangan bunga.
“Kasian anak itu.” kata salah satu
kolega bisnis Tuan Bagas.
“Dia ingin ikut dengan Neneknya, Bu.”
jawab Tuan Bagas yang matanya merah menahan tangis. Mungkin beliau tidak ingin
terlihat sedih di depan tamu-tamu penting.
“Bapaknya gak ada. Mamanya juga gak
tau di mana. Kasian, Nadine pasti masuk surga.” kata ibu-ibu yang duduk disudut
ruang tamu.
“Iya, kasian dia kurang kasih sayang
dari orang tuanya. Tante sama Omnya juga orang sibuk, Kakeknya juga begitu.
Makanya Allah ambil dia kembali dari pada dia terlantar.” tambah ibu-ibu
disebelahnya.
Pukul 2 sore Ardan tiba di rumah
duka. Dia heran melihat banyak mobil terparkir dan orang-orang di rumahnya.
Mereka semua menatap Ardan. Tuan Bagas dan Mas Eko menyambutnya di muka rumah.
“Ada apa ini, Pak? Mas?” tanyanya
kepada Tuan Bagas dan Om Eko.
Tuan Bagas tak menjawab. Matanya
mengarah ke ruang tamu.
“Masuk aja, Dan!” Om Eko menuntunnya
menuju ruang tamu.
Ardan merasa tungkainya lemas. Dia
tidak kuat berjalan menuju ruang tamu. Semua orang menatapnya. “Ada apa
ini?” tanyanya dalam hati. Sekarang telapak tangannya dingin dan bergetar.
Dia berdiri dihadapan jenazah lalu mendekati jenazah yang mukanya ditutup kain
dan terbujur kaku. Dia membuka kain yang menutupi wajah jenazah.
“Nadine? Astaghfirullah!”
cepat-cepat Ardan menutup mukanya.
“Yang sabar yah, Dan.” kata Tante
Dira sambil mengelus-elus pundak adiknya.
“Kenapa Nadine bisa begini, Mbak?”
tanyanya dengan suara keras. Air matanya mengalir. Sudah lama ia tidak menangis
setelah kematian Ibunya.
“Dia sakit sudah seminggu yang lalu,
Nak.” jawab Tuan Bagas. “Maafin Bapak karena gak bisa jagain anak kamu.” dia
menunduk dan menyeka air matanya.
Ardan mendekati Nadine. Dia cium
pipi anaknya berkali-kali sambil berbisik lirih. “Maafin Ayah yah, Nak. Selama
ini Ayah belum bisa bikin bahagia kamu dan Ibu. Ayah sayang sama kamu, Nak.
Maafin Ayah dan Ibu.” kemudian dia menggenggam erat tangan Nadine. Ardan langsung
mengambil air wudhu dan membaca Yasin di depan jenazah Nadine. Dia terus
memandangi Nadine. Tidak percaya anaknya begitu cepat pergi.
Pukul 17.30 Nadine sudah dikafani.
Tercium wangi bunga-bunga yang dironce ibu-ibu tetangga tadi siang. Tubuhnya
sudah berwarna biru. Anehnya, wajahnya terlihat cerah dan mukanya seperti anak
umur 12 tahun.
“Manis sekali senyumnya.” kata Ardan
yang terus saja memandangi anaknya tanpa beranjak sejengkal pun.
“Dia pasti masuk surga. Seharusnya
kamu bersyukur, Dan, anakmu akan jadi penolongmu ketika kamu meninggal nanti.
Dia bocah yang belum punya dosa. Dia pasti disayang Allah.” tambah Tante Ami.
“Amin… Oh ya, Mbak, Nella udah
dihubungin?”
“Udah kok. Abis maghrib dia sampe
kok, Dan.”
“Oh, bagus deh.”
Pukul 18.30 Om Eko menghubungi
Nella. Katanya, sebentar lagi dia tiba. Dari bandara dia naik taksi tapi karena
tol menuju Kemayoran macet, akhirnya dia menumpang ojek. Lima belas menit
kemudian, ojek yang mengantar Nella tiba di muka rumah Tuan Bagas. Nella
melompat masuk ke dalam rumah. Sandal yang dia pakai pun entah ke mana larinya.
“Nadine anakku…” teriaknya dari
teras rumah.
Dengan cepat Tante Ami menangkap
tubuh Nella yangh hampir saja pingsan. Dia terisak dipelukan Tante Ami.
“Nadine… Ini Ibu datang, Nak.
Bangun, Nak, bangun!! Nadine sakit apa Mbak Ami?” tangisnya histeris sambil
mengguncang-guncang tubuh kaku Nadine.
“Sakit panas, Nel.” jawab Tante Ami
yang menahan tangisnya.
“Nak, bangun! Ini Ibu datang. Tiga
hari lagi kamu kan ulang tahun. Ibu udah siapin kado untuk kamu, Nak. Kenapa
kamu sekarang pergi ninggalin Ibu?”
Semua tamu-tamu menangis
tersedu-sedu melihat Nella terisak di depan jenazah. Seakan mereka merasakan
apa yang Nella rasakan. Ardan pun tak banyak bicara. Ia hanya menunduk sambil
menangis dan tak berani melihat wajah Nella.
“Yuk, cepetan! Ini sudah larut
malam.” kata Tuan Bagas.
“Kamu cium Nadine dulu yah, Nel.
Nadine harus buru-buru dikubur. Insya Allah, dia pasti masuk surga kok.” kata
Tante Dira.
Nella mendekati Nadine. Dia cium
pipi dan kening anaknya berkali-kali. Sayangnya, Nella tidak bisa berlama-lama
karena hari sudah semakin gelap dan Nadine harus dimakamkan malam itu juga.
Setelah selesai, para keluarga segera memasukkan Nadine dalam keranda dan ditutup
dengan kain berwarna hijau tua dan dikalungkan bunga ronce di atas keranda
tersebut.
Nella berdiri dibantu oleh Tante
Dira dan Tante Ami. Tubuhnya lemas. Matanya bengkak, mungkin dia sudah menangis
sepanjang perjalanan menuju Jakarta.