“Selamat pagi…” sapa Nadia ketika membuka jendela
kamarnya. Menghirup dalam-dalam udara yang masih segar sambil menikmati semilir
angin pagi. “Hari ini enaknya kemana yah Ajak Tari shopping aja deh.” Nadia meraih
handphone yang tergeletak di meja belajar. “Halo, Tari.”
“Ada
apa nih pagi-pagi udah nelpon? Ada gosip baru yah? Hehehe..”
“Gosip
melulu nih kerjaannya. Gue mau ngajak shopping nih nanti siang. Lo gak sibuk
kan, Tar?”
“Hmm..
gimana yah?”
“Gak
bisa yah? Ayoklah, Tar! Kita kan udah lama gak kumpul berdua lagi.”
“Sebenernya
gue udah ada janji sama Rangga.” Jawabnya agak berat. Mungkin tidak enak hati
menolak ajakan Nadia.
“Oh
gitu.” Nadia tersenyum getir.
“Maaf
yah, Nadia. Besok deh gue janji kita shopping bareng. Oke?”
“Iya
gak apa-apa kok. Oke deh sampai ketemu besok.” Nadia segera menutup telponnya.
Keesokan
harinya, Nadia mengingatkan Tari untuk menepati janjinya tetapi dia beralasan
ingin menjenguk orang tua Rangga yang sedang sakit. Ini bukan pertama kalinya
Tari menolak ketika Nadia ajak untuk bertemu. Tiga bulan belakangan, semenjak proses
pendekatan sampai akhirnya berpacaran, Tari agak berubah. Dia selalu beralasan
pengin kesini sama Rangga, kesitu sama Rangga. Selalu Rangga! Mungkin begitu
ketika kasmaran, seseorang bisa lupa segalanya.
***
Nadia
duduk bersandar disudut kelas sambil memperhatikan gerak-gerik Tari. Sedari
tadi, dia sibuk dengan telepon genggamnya. Dia tidak menyapa Nadia apalagi
mengajak untuk mengobrol.
“Mau kemana Nad?” Tanya Tari ketika Nadia keluar
kelas.
“Kantin.
Mau ikut?”
“Tumben
sendirian, biasanya ngajak gue.”
“Yaudah
ayo kalo mau ikut!” Nadia menjawab sekenanya.
“Engga
deh Nad bentar lagi gue dijemput Rangga, kok. Sekalian mau makan siang sama
dia.”
“Oh, pergi
aja sana sama pacar baru lo yang gak penting itu!” katanya ketus.
“Kok
lo jadi kasar begini sih, Nad? Lo sirik karena gak punya pacar?” balas Tari gak
kalah emosi.
“Eh
denger yah, Tari! Baru punya cowok aja lo udah lupa sama gue, sahabat lo
sendiri. Inget Tar inget! Udah berapa kali lo selalu ingkar janji. Alesannya
pergi sama Rangga, udah ada janji lah, makan malem lah, apa lah itu. Sadar gak
sih lo? Norak tau gak!” Nadia terus mengoceh tanpa kontrol.
“Bilang
aja Nad lo iri sama gue! Gak usah lo cari-cari kesalahan gue. Untuk kali ini gue
gak mau diganggu orang lain termasuk lo, sahabat gue sendiri.” Mata dan wajah
Tari memerah menahan marah.
“Orang
yang baru lo kenal 3 bulan lebih lo
percaya daripada sahabat lo selama empat tahun. Gue kecewa sama lo!”
“Kalo
emang lo sahabat gue, harusnya lo ngertiin Nad.”
“Lo bilang
ngertiin? Seharusnya lo mikir, gimana jadi gue. Gimana rasanya dicuekin sahabat
sendiri. Coba bayangin deh seandainya lo diposisi gue gimana rasanya? Sakit Tar
sakit. Kalo lo lebih milih dia, anggep aja kita gak pernah saling kenal.”
dengan nada gemetar Nadia pergi meninggalkan Tari.
Semenjak
kejadian itu, Nadia dan Tari bermusuhan. Pernah suatu ketika mereka berpapasan
dan dengan spontan mereka membuang muka seakan tidak melihat dan saling kenal.
13 September adalah hari persahabatan Nadia dan Tari.
Setiap tahun mereka selalu merayakannya dan berdoa bersama semoga persahabatan
mereka masih terus terjaga sampai mereka sudah tua dan salah satu darinya ikut
mengantarkan ke peristirahatan terakhir. Nadia mengirimi Tari sms, mengingatkan
bahwa ini hari yang mereka tunggu-tunggu. Sebenarnya Nadia gengsi sms Tari duluan
tapi yasudahlah semoga dibalas smsnya “halo Tari. Inget kan hari ini hari
apa? Gue tunggu di café biasa yah jam 4 sore. Thanks”
Tari
tidak membalas smsnya.
Tepat
jam 4 sore Nadia sudah tiba di café. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 5, tapi kok
Tari belum datang juga? setelah menunggu selama 2 jam, akhirnya Nadia
meninggalkan café dengan perasaan yang sangat kecewa. “Jahat lo Tar. Gue benci!”
Nadia mengusap air matanya dan memberhentikan taksi.
***
“Tari,
si Nadia sakit apaan sih?” tanya Andri kepada Tari.
“Nadia
sakit?” jawab Tari bingung.
“Masa
sahabat sendiri sakit gak tau sih? Wah jahat lo!”
Tari
menarik tasnya dan berlari keluar kelas. “Sahabat macem apa gue, sahabat sakit
gue gak tau? Gue emang udah jahat. Gue egois!” Tari membatin sambil menahan
tangis. Tari mengambil telepon genggamnya dan mencari nomer yang dituju yaitu
Nadia.
***
“Assalamualaikum..”
Tari mengetuk pintu rumah Nadia.
“Waalaikumsalam”
Jawab dari dalam rumah. Ibunya Nadia yang membukakan pintu “Eh Tari, Tante kira
siapa pagi-pagi begini ada tamu.”
“Nadianya
ada Tante?”
“Adak ok. Yuk masuk!” tanya Tante Dian ramah.
“Iya,
Tante. Permisi aku keatas dulu.”
“Hai
Nad.” Sapa Tari ketika membuka pintu kamar Nadia. “Nadia.” sapanya lagi lembut.
Nadia sedang tidur. Tari tidak berani membangunkannya. 2 jam lamanya Tari
menunggu Nadia bangun dari tidurnya.
“Ngapain
lo kesini?” Tanya Nadia ketika membuka mata.
“Mau
jengukin lo, Nad. Masa sahabat sakit gue....”
Nadia
memotong pembicaraan Tari “Sahabat? Selama ini lo kemana aja? Sekarang gue
sakit lo peduli. Senen lo liat gue sakit? Seneng kan lo selama ini gak ada yang
ganggu lo pacaran?” Suara Nadia semakin meninggi.
“Gue
minta maaf selama ini gue egois, Nad.” Suaranya semakin pelan penuh penyesalan.
“Masih
inget minggu lalu hari persahabatan kita? Kenapa lo gak dateng? Kenapa lo gak
kasih kabar? Gue nunggu 2 jam lebih. Lo orang yang paling jahat yang pernah gue
kenal!” Nadia sekuat tenaga menyembunyikan air matanya.
“Maaf
soal itu Nad. Gue bisa jelasin semuanya.”
“Mau
alesan apa lagi?”
“Gue
nyesel banget Nad.” Tari menangis.
“Gue
kangen Tari yang dulu. Tari yang selalu ada disaat gue butuh. Tari yang bisa
bikin gue ketawa.” Kali ini air matanya menetes keseluruh pipinya.
Tari
memeluk erat Nadia “Maafin gue, Nad. Karena keegoisan gue, gue hancurin
persahabatan kita.”
Nadia
membalas pelukan sahabatnya sambil menangis tersedu-sedu. “Mungkin gue yang
egois. Gue iri sama lo yang udah punya pacar dan gue gak bisa lo jauh-jauh dari
gue.”
“Intinya, mau maafin gue gak nih? Udahan ah
nangis-nangisnya! Sakit nih bahu gue nahan badan yang gendut.” Tari menggoda.
Nadia
melepas pelukannya dengan muka sebal. “Tari… sempet-sempetnya ngajak bercanda.”
Nadia memukul lengan Tari
“Hehehe
udah dong jangan nangis lagi yah Nadia sahabatku yang baik hati. Kita baikan.
Oke?” Tari mengusap air mata di pipi Nadia
“iya
Tari sahabatku yang pesek dan nyebelin…” sekali lagi Nadia memeluk Tari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar