25 Agustus 2010, MPA (Masa Pengenalan Akademik) hari
pertama di kampusku, semua mahasiswa baru dari semua jurusan di FBS (Fakultas
Bahasa dan Seni) berkumpul di aula perpustakaan. Ruangan itu penuh sesak, pengap
dan ramai oleh suara disana-sini.
Di tengah acara, panitia menyuruh kami untuk maju mewakili
masing-masing jurusan untuk menjadi perwakilan dan menunjukkan bakat yang
mereka punya. Ketika semua perwakilan maju, aku menganggap tidak ada yang
istimewa.
Aku mencoba mengangkat kepala, memperhatikan satu
persatu dari mereka yang sedang menunjukkan bakat. Aku melihat cowok dari
jurusan bahasa Perancis menunjukkan bakat menyanyi dengan bahasa Perancis. Rasa
kantuk pun tiba-tiba hilang. Cowok itu membuatku tak bisa berkedip dan menarik
perhatianku dengan gayanya Memperhatikan setiap gerak-geriknya. Berharap dia
balik menatapku.
***
Pagi itu aku
berjalan terburu-buru menuju kelas. Melewati pendopo yang biasa
disinggahi mahasiswa bahasa Perancis. Tanpa sengaja aku melihat cowok yang
menarik perhatianku saat MPA minggu lalu. Senyumnya manis, keren, walaupun
sedikit acak-acakan. Sejak saat itu ketika melewati pendopo, aku selalu menoleh
dan berharap ada dia disana. Mencuri pandang untuk melihat senyumannya, itu
saja sudah cukup membuat hatiku senang.
***
“Melody, ikut yuk!”
“Kemana?”
“Ke terbuk. Ada acara disana.”
Sebelum menjawab, Neno menarik tanganku.
Tanpa tahu acara apa, aku dan teman-teman duduk dipinggir
terbuk. Aku melihat cowok itu berjalan membawa bass merah. Gak nyangka kita
bisa bertemu lagi disini. Ternyata cowok itu tampil bersama teman-temannya. Dia
bernyanyi sambil bermain musik. Sayangnya, sampai detik ini aku tidak tahu
siapa nama cowok itu.
***
24
November 2012, jurusanku mengadakan acara Jiyuu Matsuri Festival Kebudayaan
Jepang. Acara yang rutin diselenggarakan setiap tahun. Jurusan bahasa Perancis
diundang untuk tampil diacara tersebut. Aku sebagai panitia dokumentasi
kebetulan mendapat tugas mengambil gambar jurusan mereka.
“Kak, ada yang keren loh diantara mereka.” Kata Rani,
juniorku yang berdiri disampingku.
“Yang mana?” Jawabku datar tanpa menoleh.
“Liat aja noh satu-satu. Kayaknya gue tau nih lo lagi fotoin
siapa? Yang megang keyboard yah? Gue ada nih nomernya, mau gak?”
“Eh bacot lo jangan gede-gede ngapa, Ran!”
“Mau tau gak
siapa namanya?” goda Rani mengedipkan mata.
“Udah tau tuh.” Kataku masih sibuk memotret.
“Tau darimana?”
“Nanti gue certain.”
“Oke, gue siap dengerin.”
***
Aku
bersandar diruang istirahat panitia sambil memijit kaki yang lelah karena
seharian mondar-mandir mengambil gambar.
Rani mengintip
dari luar kemudian masuk dan langsung rebahan di lantai.
“Akhirnya
bisa rebahan juga,” Rani celingak-celinguk dan menemukan diriku sedang
bersandar dipojokan. “Kak, lanjutin cerita yang tadi dong! Penasaran nih.”
“Mulai
darimana?” jawabku bersemangat
“Dari
awal dong!”
“Awalnya,
gue liat Ben waktu MPA. Setiap hari gue ketemu di pendopo, lama-lama diperhatiin
kok dia keren juga yah.. Mulai dari situ gue tau tentang dia, kebetulan gue
punya temen yang sekelas sama Ben. Dari dia, gue tau semuanya tentang Ben.
Kegiatannya, kesukaannya, apapun tentang Ben. Terus gue liat dia tampil sama
band jurusannya di terbuk. Nyanyi bisa, main gitar bisa, bass bisa dan yang
kerennya lagi tuh pas tadi, dia main keyboard.” Kataku panjang lebar.
“Tapi
sampe sekarang masih suka sama dia? Kenapa gak nyuruh temen lo aja untuk
sampein perasaan lo ke Ben?”
“Bukan
suka, Ran. Lebih tepatnya mengagumi. Jangan bilang ke Ben yah, Ran!”
“Gak
janji.” Rani melenggang pergi.
Keesokan harinya, Rani memberi tahu sms antara dia dan
Ben.
“Kak, kemarin gue sms-an dong sama Ben. Mau liat gak?”
Rani menyodorkan handphonenya.
“Awas yah sampe lo keterusan sms-an sama dia.”
“Ya ampun gue gak sejahat itu Kak. Kaya baru kenal aja
sama gue.”
“Iya gue percaya. Pokoknya jangan pernah lo bahas-bahas
gue. Oke?”
“Gak janji Kak. Tau sendiri mulut gue sering
keceplosan hehehe.”
***
Semenjak acara Jiyuu Matsuri, perasaan ke Ben semakin
menggebu. Pengin kenalan tapi malu takut Fajarnya sombong. Aduh gimana dong?
Ketika sedang duduk di lorong gedung D, Rani
memanggilku. “Kak, gue mau kasih souvenir nih untuk anak art perform,
mau ikut gak?”
“Ke anak bahasa Perancis juga gak?”
“Iyalah.. Makanya gue ajak lo.”
“Boleh deh. Kapan?”
“Lusa yah gue kabarin lagi jadi atau engganya.”
“Oke.”
***
Seperti yang telah dijanjikan, aku dan Rani pergi ke
pendopo bahasa Perancis membawa souvenir.
“Ran, pokoknya nanti gue nunggu lo di depan pintu aja
yah. Gue malu.”
“Gak apa-apa ikut aja lagian Ben gak kenal lo, Kak.”
“Enggak. Pokoknya gue tunggu lo di depan pintu. Gue
ngeliat lo aja dari jauh”
“Terserah..” Rani keluar menuju pendopo.
“Ben…”
“Hei Rani. Mau kasih apaan sih repot banget kayaknya?”
tanya Ben ramah.
“Kenang-kenangan dari panitia Jiyuu Matsuri kemarin. Tolong
diterima yah.”
“Makasih yah, Ran. Oh iya, mana sih yang namanya Melody
itu? Penasaran gue.”
“Anaknya malu. Dia nunggu di E tuh.”
“Gue mau kenalan deh sama dia.”
“Lo jangan ngomong macem-macem yah, Ben.”
“Iya, Rani… Ayo kita samperin!”
Dari kejauhan, aku melihat mereka menuju gedung E. “Aduh
ngapain sih mereka kesini? Gue gak siap ketemu Ben.” Aku memutuskan untuk
bersembunyi di kamar mandi. Berjalan tergesa-gesa hingga menabrak orang yang
sedang lewat.
“Melody!” teriak Rani.“Kok kabur sih dia? Ben, tunggu
sini yah gue mau samperin.” Rani mengejarku sampai kamar mandi. “Kenapa kabur?
Ben mau kenalan tuh. Dia nunggu diluar.”
“Gue malu, gue gak siap ketemu sama dia sekarang.”
jawabku kesal
“Jangan banyak omong!”
Rani menarik tanganku.
Aku segera membereskan tatanan rambut dan baju “Udah rapi belom?”
“Udah.”
“Melody yah?” tanya Ben ramah.
Dagdigdug jantungku berdetak kencang “Iya gue Melody.”
Aku mengulurkan tangan. Ya ampun akhirnya gue bisa berjabat tangan sama Ben.
“Gue, Ben. Jadi bingung nih mau ngomong apa hehehe.”
Ben terlihat canggung.
“Iya, sama nih bingung juga mau ngomong apa.”
“Yaudah deh gue
mau balik lagi ke pendopo. Bye.” Ben melambaikan tangan.
“Bye.” Aku membalas lambaiannya.
“Ciye… Ada yang gak dicuci tuh tangannya hahaha.” Rani
menggoda.
“Lo yang nyuruh Ben kenalan sama gue yah?”
“Engga kok.” Rani mencoba berbohong.
“Gak usah boong deh! Ben gak kenal sama gue. Atau jangan-jangan
lo certain semuanya ke Ben?”
“Jadi gini, sebenernya tiap malem gue sms-an sama Ben.
Jangan mikir macem-macem! Gue sms-an sama dia ngomongin lo. Terus dia minta
dikenalin deh sama lo. Kurang sayang apalagi coba? Gara-gara gue juga kan lo
bisa kenalan sama dia. Bisa berjabat tangan sama dia.” jawab Rani seakan tak
bersalah.
“Tapi Ran..”
“Ah, udahlah. Yang penting sekarang udah saling kenal
kan? Yaudah nikmatin aja!” Rani membela diri.
“Makasih yah, Ran. Akhirnya gue bisa kenalan sama Ben.
Pokoknya gue gak mau cuci tangan. Harum banget tangannya, masih nempel nih
ditangan gue.”
“Bisa ikutan gila nih lama-lama deket lo! Udah yuk cepet
balik ke kelas.”
Sejak
perkenalan itu, Aku dan Rani sering sindir-sindiran ketika bertemu dan ketika di
twitter yang akhirnya menyerempet dan membawa-bawa nama Ben. Mungkin
kami terbawa suasana hingga akhirnya timbul masalah yang agak mengganggu
hidupku.
Mula-mula
temanku, Petra, yang juga teman sekelasnya Ben bertanya kepadaku. “Mel, lo ada
masalah yah sama ceweknya Ben?”
“Kenal
juga enggak sama ceweknya.” jawabku kebingungan
“Yang
bener?”
“Iya
serius. Emangnya ada apa?” aku masih bingung
Petra
memforward semua kicauan ceweknya Ben dari awal sampai yang paling
terbaru. Aku kaget bukan main, gak nyangka cewek itu tau semua apa yang aku
bicarakan di twitter bersama Rani. Yang lebih menyakitkan lagi, dia
berkicau menggunakan bahasa Inggris yang kasar. Aku terdiam. Ternyata selama
ini dia mata-matain twitter gue. Tapi, dia tau darimana? Kalo kesel sama
gue kenapa gak ngomong langsung? Kenapa nyindir sampe sebut gue cewek jalang? Aku
bertanya-tanya dalam hati. Aku berpikir apa yang harusku lakukan. Oke, aku
harus kasih tau Rani masalah ini!
Satu
jam lamanya aku menunggu sms balasan dari Rani, tapi kok gak dibalas yah? Apa
dia udah tidur? Aduh Ran… disaat seperti ini kenapa lo udah tidur sih?
***
Esok
paginya, Rani meraih handphonenya dengan mata masih mengantuk. Dia kaget
dan segera membalas smsnya, “Kenapa Kak? Telpon sekarang!”
Aku ceritakan semua kejadian tadi malam.
“ Gue
bingung, Ran, harus marah atau sedih.”
Kataku lemas.
“Tapi gak seharusnya dia ngatain kita sekasar itu. Gak
disekolahin tuh mulut? Kurang ajar bocah ingusan ngajak berantem!” Rani mulai
emosi. “Tapi yang masih gue bingung, cewek itu tau twitter kita darimana?”
“Mungkin
Ben cerita kalo dia kenalan sama gue. Inget gak, lo pernah bikin status whatsapp
username twitter lo? Mungkin dia juga cerita tentang lo yang ngenalin
gue ke dia. Terus cewek itu cari tau tentang kita. Pas buka timeline lo,
ada nama gue, Dia baca semua kicauan
kita yang bawa-bawa nama Ben. Mungkin dari situ ceweknya marah besar.
Apalagi kicauan kita parah banget sampe nyindir-nyindir.”
“Gue sih gak masalah ceweknya ngamuk atau mau ngapain,
yang gue pikirin, apa jadinya hubungan baik kita sama Ben? Malu banget kalo
berpapasan di jalan.”
“Gue
juga mikir begitu. Apa yang harus gue lakuin, Ran?”
“Santai
aja, toh kita gak kenal dan gak ada urusan sama cewek itu. Kalo dia masih
ngebacot, ada gue kok yang selalu nemenin lo, gak usah takut. Gak usah dipikirin
semua omongannya.” kali ini Rani menjawab dengan tenang.
“Sakit
hati gue! Lagian cuma kagum kok gak lebih.. Kenapa harus sekasar itu? Bisa
bedain gak sih antara kagum dan rasa suka?”
“Kalo
emang dia berpikir dewasa, ada yang kagum sama pacarnya itu wajar kok. Emang
dasar masih bocah aja, pikirannya curigaan meluulu. Lagian baru pacaran. mana
tau kedepannya bisa nikah atau enggak, iya kan?”
“Hahaha
setuju! Sekarang gue udah tenang.” Ujarku bersemangat.
Lega rasanya menceritakan semuanya ke Rani. Aku tidak
lebih dari seorang pengagum. Bisa kenal dan berjabat tangan dengannya pun sudah
lebih dari cukup. Terima kasih Tuhan, walaupun dia tidak bisa aku gapai, namun
aku berharap, Ben bisa menjadi seorang teman.
Manusia memiliki mimpi, ada yang mengejarnya dan
mewujudkannya, ada yang mundur dan membuangnya, dan ada pula yang diam dan
hanya menyimpannya sepanjang sisa hidupnya.
Walaupun pertemuanku dengannya tidak seperti yang
diharapkan, setidaknya kita sudah saling berbicara. Setelah sekian lama aku
hanya bisa mengagumimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar