Rabu, 01 Januari 2014

Hujan Punya Cerita Tentang Kita

Ada masa di mana seseorang yang sangat kita cintai tiba-tiba pergi meninggalkan kita
Dan disaat itu kita seperti orang yang sangat bodoh
Bodoh karena hanya bisa terdiam tanpa menahannya untuk pergi
Ada masa di mana dulu seseorang yang kita sayang memeluk dan menggenggam erat tangan
kita ketika turun hujan. Kita saling berbagi cerita di bawah rinai hujan dan mengikat janji
Yang disaksikan oleh rintik-rintik hujan yang menciprat membasahi lengan kita
Aku sangat senang ketika turun hujan karena begitu banyak kenangan yang kita lalui bersama hujan
Dan hari ini hujanpun turun lagi
Aku tetap menikmatinya. Rintik-rintiknya menyentuh lembut pipi dan telapak tanganku serta beberapa rintiknya kubiarkan terhanyut bersama daun-daun yang berguguran

Elegi Tentangmu 2

Masih di sini menunggu ketidak pastian
Menanti seseorang yang tak ingin dinanti
Akankah kita bisa bertemu pada ruang sepi?

Masih di sini bergerak tak tentu arah
Membayangkan masa yang lalu
Apakah masa itu bisa terulang kembali
Atau harus kucabik hingga tak tersisa?

Kamu. Begitu banyak kenangan tentangmu
Tanpa bisa kulupakan barang sebutirpun

Dan dengan sekejap kamu hilang bersama kenangan yang sengaja tak kulupakan

Sabtu, 21 Desember 2013

Sajak untuk Mama

Ma, sungguh besar pengorbanan untuk anak-anakmu
Engkau pun ingin yang terbaik untuk anak-anakmu
Celotehanmu telah menjadi bumbu dalam hidup kami
Kami pun sudah mengerti maksud celotehanmu itu dan kami sudah cukup dewasa untuk menerimanya

Ma, hari-hatimu kau habiskan untuk mengurus rumah serta kami
Bahkan kepentingan dirimu pun tak kau pikirkan
Engkau selalu tersenyum ketika kami tiba di rumah
Menyambut di muka pintu sambil bertanya “Mengapa baru pulang? apakah hari ini jalanan macet? Apakah kamu sudah makan? “ tidak jarang kami tak menghiraukanmu dan lantas masuk ke kamar

Ma, maafkan jika sampai saat ini kami belum bisa menjadi yang kau harapkan
Ketika kami tak sengaja membentakmu, kami pun sadar apa yang kami lakukan itu salah

Ma, aku takut. Sangat takut kehilangan diri dan cinta kasihmu
Aku takut engkau pergi selamanya sebelum menyaksikan kesuksesan kami
Aku takut kau terlihat tua, beruban, keriput bahkan hanya berbaring lemah di atas tempat tidur

Ma, jikalau suatu hari aku pergi terlebih dahulu meninggalkanmu
Maafkanlah semua dosa-dosa yang pernah aku lakukan terhadapmu
Dan jika suatu hari kau menemukan tulisan ini, bacalah dan respilah
Simpanlah ditempat yang kau anggap aman
Bacalah jika suatu waktu kau rindu denganku
Aku yakin, engkau pasti kuat kehilangan diriku untuk selamanya
Tetapi tidak denganku
Aku pasti gila
Aku pasti merindukan celotehan, perhatian, pelukan dan belaian lembut darimu
Sewaktu aku tiba di rumah, engkau marah dan mengeluarkan semua isi lemariku dan melemparnya ke segala arah
Sungguh aku tak marah ataupun sakit hati
Sungguh tak ada perasaan itu di dalam hatiku
Aku hanya bisa menangis dan terdiam sambil memikirkan sesuatu yang aku pun tak tahu apa yang sedang kupikirkan saat itu

Senin, 25 November 2013

Ketika menulis sajak ini, air mataku tak hentinya mengalir dan membasahi pipiku.

Selamat Hari Ibu. Haha no Hi Omedetou Gozaimasu.
Okaasan, doumo arigatou gozaimasu. Aishiteiru :*

Jumat, 26 Juli 2013

Dua Puluh Enam Juli

Masih di sini, diantara nyata dan ilusi
ditemani bayang-bayang dirimu yang menari dibenakku
bayang itu sepertinya betah dan sulit enyah
aku pun menikmatinya kala kau menyapaku dengan senyum manismu

Kau tahu betapa besar pengaruhnya puisi-puisi
yang pernah kau kirim di dalam hidupku
tetapi nampaknya kau pura-pura tak mau tahu

Dadaku sesak menahan rindu yang menggebu. Pengap.
tak ada celah untukku bernapas tanpa memikirkanmu sedetik pun

Kamu memang bukan kamu yang dulu
yang sempat memujiku dengan puisi dan membuatku terbang

Aku pun lupa untuk mendarat karena aku takut
terperosok atau bahkan tersungkur ke tanah

Rabu, 26 Juni 2013

Berhenti Berharap

Asaku hanyut bersama daun yang terbawa arus hujan petang tadi
aku membiarkan ia lenyap bahkan tak kembali lagi
dan kubiarkan ia terbang bersama debu dan asap

Mereka bilang, aku beruntung memilikimu
tapi itu tak seperti yang mereka katakan

Jarak kita memang berdekatan
tetapi ada puluhan tembok yang menghalangi langkah kita
seperti ratusan bahkan ribuan kilometer
untukku bisa menggenggam tanganmu kembali

Aku butuh pijakan untuk melangkah
tetapi kamu tak menyambutnya

Mungkin aku membutuhkan seseorang untuk bisa menyambut tanganku
tetapi sentuhannya tidak seperti dirimu
sentuhan lembut yang bukan hanya dikulitku
tetapi tepat dihatiku

Dan itu hanya kamu yang bisa menaklukan hatiku
setelah sekian lama penantian dan perjalanan panjang diriku

Senin, 24 Juni 2013

Secuil Harap

Malam ini, kubuka kembali buku catatanku
buku di mana kuabadikan ratusan puisimu
buku yang belakangan ini sengaja tidak kubuka karena ketika membacanya,
aku takut bayanganmu kembali hadir dimimpi-mimpiku

Dulu, aku sempat berharap buku itu akan terisi penuh oleh puisimu
ternyata hanya terisi setengahnya
dan sepertinya setengah dari sisa halamannya tidak akan pernah terisi lagi

Aku sadar, kamu tak akan pernah datang kembali
untuk mengisi sisa halaman buku itu
mungkin kamu sedang mengisinya dibuku perempuan lain, mungkin

Tak ada yang bisa kuingat selain kenangan manis dan buku ini,
peninggalanmu yang tersisa
apa aku salah berharap kita bisa merangkai kata dan merajut asa
bersama-sama seperti dulu?

Semoga saja tak ada perempuan lain

yang melanjutkan puisimu dibuku catatannya

Sabtu, 22 Juni 2013

Puncak Gunung Gede

(Fragmen bagian terakhir dari novel Karena Kamu Cuma Satu karya Shabrina MY)


Aku senang sekali ketika Dion mengajakku untuk mendaki gunung Gede bersama-sama. Aku mempersiapkan semuanya dari seminggu sebelum keberangkatan.
“Serius, Di?” tanyaku tidak percaya ketika Dion datang memberi kabar sore itu.
“Iya, sayang. Kan waktu itu aku pernah janji mau ngajak kamu, Rin.”
“Asik…” aku langsung memeluk Dion.
“Aku pengin banget mendaki gunung bareng perempuan yang paling aku sayang.”
Aku tersipu malu.
“Mulai dari sekarang, kamu harus latihan jalan kaki setiap hari, latihan lari keliling stadion 5 kali. Biar di sana kamu gak gampang capek, Rin. Oh iya, jaga kesehatan yang paling penting.” tambahnya.
“Kita berdua aja, Di?”
“Sama temen-temen aku. Tapi kita dari Jakarta berdua. Temen-temenku jalan duluan.”
“Oke. Oh iya, aku sampe lupa ngajak kamu masuk ke dalem.” aku menarik tangan Dion masuk ke dalam rumah.
“Eh, ada Dion. Ke mana aja baru kelihatan? Makin ganteng aja nih calon menantuku.” sapa Mama ketika keluar dari dalam kamarnya.
 “Hehehe maaf tante kemaren-kemaren aku lagi banyak urusan.” jawabnya langsung mencium tangan Mama.
 “Sering-sering main ke sini yah, Nak! Tante senang kalo rumah ini rame.”
 Dion hanya senyam-senyum.
“Tun… Atun… Tolong bikinin minum untuk calon menantu saya!” suruh Mama. “Atun… Kamu denger saya gak sih? Aduh… Maklumlah si Atun baru seminggu kerja di sini. Dia belum terbiasa dengan suara cempreng saya.” ujar Mama sambil duduk di sebelah Dion.
Mama selalu memperlakukan Dion begitu istimewa. Layaknya raja yang memang harus di jamu dengan baik. Mama juga senang ketika pertama kali aku memperkenalkan Dion kepadanya. Kata Mama, Dion tampan dan gak banyak gaya. Pokoknya, Dion harus menikah denganku.



***



Tepat jam 8 pagi aku sudah siap dengan semua perlengkapan untuk mendaki. Dan tidak ketinggalan jaket parasut berwarna kuning hadiah ulang tahun dari Papa.
“Beneran gak ada yang ketinggalan?” tanya Mama yang ikut sibuk mempersiapkan semua kebutuhanku.
“Udah kok, Ma.”
“Kamera, dompet, HP gak ketinggalan kan?” tambah Papa.
“Udah beres semua, bos. Tenang aja.”
“Itu calon menantu kita sudah datang.” ujar Papa.
“Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam…”
“Aduh… Gantengnya calon menantuku.” Mama mengelus-elus pipi Dion.
“Hehehe tante bisa aja.” Dion tersenyum malu.
“Kamu ke terminal naik apa Dion?” tanya Papa.
“Naik angkutan umum aja tante.”
“Angkutan umum? Perjalanan kalian masih jauh kalo naik angkutan umum nanti keburu capek di jalan. Mama gak tega, Nak. Pa… Cepet ambil kunci mobil kita antar mereka sampe ke stasuin.”
“Ya udah, itu ide bagus.” ujarku.
“Sebentar yah Papa mau ambil kunci mobil dulu.”
Di tengah perjalanan menuju terminal Kampung Rambutan, Mama dan Papa tidak henti-hentinya memberi pesan kepada kami untuk selalu berhati-hati dan berdoa kapan pun.
Mama dan Papa mengantar sampai bus yang kami tumpangi jurusan Bogor meninggalkan terminal. Dua jam kemudian, kami tiba di perempatan Cibodas. Untunglah jalan menuju puncak tidak seramai biasanya.
Udara sejuk sudah mulai terasa. Menghirup udara segar dan menghembuskannya secara perlahan. Aku dan Dion duduk-duduk sebentar di pinggir jalan untuk sekadar bersantai. Belum sampai di puncak saja aku sudah merasa letih.
Aku kira sudah hampir sampai. Ternyata kami harus naik angkutan umum untuk sampai ke sana. Kira-kira 6 KM dari tempatku berdiri saat ini. Sampai di PHPA Taman Nasional Gede Pangrango, kami segera melapor bahwa kami ingin mendaki gunung ini.



***



Setelah beristirahat, sekitar jam 2 dini hari, aku beserta rombongan memulai perjalanan menuju puncak Gede. Aku perempuan satu-satunya dari sepuluh orang lelaki.
Rasanya aku ingin menyerah tetapi dengan sabar Dion membimbingku menaiki tanjakan-tanjakan terjal yang di dominasi dengan bebatuan licin. Lengah sedikit, pasti bisa tergelincir. Karena kami berada di ketinggian 2.500 mdpl menuju ke tinggian 2958 mdpl, kadar oksigen pun semakin menipir. Rasanya sulit sekali untuk bernapas.
“Sekarang kita udah sampe di tanjakan setan. Satu setengah jam lagi kita sampe di puncak Gede. Hati-hati semakin ke atas jalurnya semakin licin. Semangat temen-temen!” ujar Edi penuh semangat.
Kenapa dinamakan tanjakan setan? Karena tanjakan ini memiliki kemiringan sekitar 70 derajat dengan ketinggian 50 meter yang di dominasi oleh batu-batu.
”Kita istirahat dulu atau lanjut aja nih? Kalo capek, jangan di paksain!” tanya Egar.
”Lanjut...!” ujar kami bersemangat.
Satu setengah jam berlalu, tak terasa kami sudah tiba di puncak Gede. Pemandangan di bawah adalah kawah Gunung Gede yang mengeluarkan asap vulkanik. Kawah besar dengan diameter sekitar 800 M, menganga di depan kami.
Di sebelah kiri, terlihat puncak Pangrango dengan ketinggian 3008 mdpl. Begitu gagah dan mempesonanya puncak Pangrango itu.
Tak henti-hentinya aku mengucap syukur dan memuji. Begitu agung dan indahnya ciptaan Tuhan layaknya jelmaan surga. Sungguh luar biasa. Tuhan menciptakan ini semua tidak gratis. Untuk mendapatkan semua ini kita harus rela bersusah payah.
Kami semua berdiri berjejer berfoto untuk mengabadikan momen indah ini. Senyum puas dan bahagia terpancar di wajah kami semua.
Dion mengeluarkan sepucuk bunga Edelweis dari dalam saku jaketnya. Tenyata dia memetiknya ketika kami beristirahat di dekat hamparan padang Edelweis yang cantik dan terbalut udara segar khas pegunungan.
”Edelweis ini sengaja aku petik untuk kamu, Arina. Semoga cinta kita abadi seperti bunga ini.” suara Dion begitu tulus sambil menyodorkan Edelweis ke hadapanku.
Aku meraih bunga itu dengan tangan gemetar. Dengan sigap Dion menghapus air mata yang membasahi pipiku.
”Terima kasih, Dion.” bisikku gemetar.
I love you, Arina.” Dion langsung mendekap mesra tubuh mungilku.
Love you too, Dion.”
”Kamu mau gak terima lamaran aku setelah kita lulus kuliah nanti? Karena kamu cuma satu, aku rela berkorban demi gadis yang paling aku sayang.” ujarnya mantap.
”Aku takut kamu ninggalin aku lagi, Di.”
”Gak percaya?” Dion membalikkan badannya seraya membuka mulut.
”Jangan, Dion!” aku tahu apa yang akan dilakukan Dion. ”Gak perlu kamu meneriakkan cintamu lagi. Cintamu sudah tersimpan di hatiku.” ujarku sambil memejamkan mata.
Teman-teman Dion memperhatikan kami sambil menahan tawa.
Dion sudah membuka mulutnya lebar-lebar tetapi aku keburu membekap mulutnya rapat-rapat.

Tamat