Aku senang
sekali ketika Dion mengajakku untuk mendaki gunung Gede bersama-sama. Aku
mempersiapkan semuanya dari seminggu sebelum keberangkatan.
“Serius, Di?” tanyaku tidak percaya
ketika Dion datang memberi kabar sore itu.
“Iya, sayang. Kan waktu itu aku
pernah janji mau ngajak kamu, Rin.”
“Asik…” aku langsung memeluk Dion.
“Aku pengin banget mendaki gunung bareng perempuan yang paling aku
sayang.”
Aku tersipu malu.
“Mulai dari sekarang, kamu harus
latihan jalan kaki setiap hari, latihan lari keliling stadion 5 kali. Biar di
sana kamu gak gampang capek, Rin. Oh iya, jaga kesehatan yang paling penting.”
tambahnya.
“Kita berdua aja, Di?”
“Sama temen-temen aku. Tapi kita dari Jakarta
berdua. Temen-temenku jalan duluan.”
“Oke. Oh iya, aku sampe lupa ngajak
kamu masuk ke dalem.” aku menarik tangan Dion masuk ke dalam rumah.
“Eh, ada Dion. Ke mana aja baru
kelihatan? Makin ganteng aja nih calon menantuku.” sapa Mama ketika keluar dari
dalam kamarnya.
“Hehehe maaf tante kemaren-kemaren
aku lagi banyak urusan.” jawabnya langsung mencium tangan Mama.
“Sering-sering main ke sini yah, Nak!
Tante senang kalo rumah ini rame.”
Dion hanya senyam-senyum.
“Tun… Atun… Tolong bikinin minum untuk calon menantu saya!” suruh Mama.
“Atun… Kamu denger saya gak sih? Aduh… Maklumlah si Atun baru seminggu kerja di
sini. Dia belum terbiasa dengan suara cempreng saya.” ujar Mama sambil duduk di
sebelah Dion.
Mama selalu memperlakukan Dion begitu istimewa. Layaknya raja yang
memang harus di jamu dengan baik. Mama juga senang ketika pertama kali aku
memperkenalkan Dion kepadanya. Kata Mama, Dion tampan dan gak banyak gaya.
Pokoknya, Dion harus menikah denganku.
***
Tepat jam 8 pagi aku sudah siap dengan semua perlengkapan untuk mendaki.
Dan tidak ketinggalan jaket parasut berwarna kuning hadiah ulang tahun dari
Papa.
“Beneran gak ada yang ketinggalan?” tanya Mama yang ikut sibuk
mempersiapkan semua kebutuhanku.
“Udah kok, Ma.”
“Kamera, dompet, HP gak ketinggalan kan?” tambah Papa.
“Udah beres semua, bos. Tenang aja.”
“Itu calon menantu kita sudah datang.” ujar Papa.
“Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam…”
“Aduh… Gantengnya calon menantuku.” Mama mengelus-elus pipi Dion.
“Hehehe tante bisa aja.” Dion tersenyum malu.
“Kamu ke terminal naik apa Dion?” tanya Papa.
“Naik angkutan umum aja tante.”
“Angkutan umum? Perjalanan kalian masih jauh kalo naik angkutan umum
nanti keburu capek di jalan. Mama gak tega, Nak. Pa… Cepet ambil kunci mobil
kita antar mereka sampe ke stasuin.”
“Ya udah, itu ide bagus.” ujarku.
“Sebentar yah Papa mau ambil kunci mobil dulu.”
Di tengah perjalanan menuju terminal Kampung Rambutan, Mama dan Papa tidak
henti-hentinya memberi pesan kepada kami untuk selalu berhati-hati dan berdoa
kapan pun.
Mama dan Papa mengantar sampai bus yang kami tumpangi jurusan Bogor
meninggalkan terminal. Dua jam kemudian, kami tiba di perempatan Cibodas. Untunglah
jalan menuju puncak tidak seramai biasanya.
Udara sejuk sudah mulai terasa. Menghirup udara segar dan
menghembuskannya secara perlahan. Aku dan Dion duduk-duduk sebentar di pinggir
jalan untuk sekadar bersantai. Belum sampai di puncak saja aku sudah merasa
letih.
Aku kira sudah hampir sampai. Ternyata kami harus naik angkutan umum
untuk sampai ke sana. Kira-kira 6 KM dari tempatku berdiri saat ini. Sampai di PHPA Taman Nasional Gede Pangrango, kami
segera melapor bahwa kami ingin mendaki gunung ini.
***
Setelah beristirahat, sekitar jam 2 dini hari, aku beserta rombongan
memulai perjalanan menuju puncak Gede. Aku perempuan satu-satunya dari sepuluh
orang lelaki.
Rasanya aku ingin menyerah tetapi dengan sabar Dion membimbingku menaiki
tanjakan-tanjakan terjal yang di dominasi dengan bebatuan licin. Lengah
sedikit, pasti bisa tergelincir. Karena kami berada di ketinggian 2.500 mdpl menuju ke
tinggian 2958 mdpl, kadar oksigen pun semakin menipir. Rasanya sulit sekali untuk bernapas.
“Sekarang kita udah sampe di tanjakan setan. Satu setengah jam lagi kita
sampe di puncak Gede. Hati-hati semakin ke atas jalurnya semakin licin. Semangat
temen-temen!” ujar Edi penuh semangat.
Kenapa dinamakan tanjakan setan? Karena tanjakan ini
memiliki kemiringan sekitar 70 derajat dengan ketinggian 50 meter yang di
dominasi oleh batu-batu.
”Kita istirahat
dulu atau lanjut aja nih? Kalo capek, jangan di paksain!” tanya Egar.
”Lanjut...!” ujar
kami bersemangat.
Satu setengah jam berlalu, tak terasa kami sudah tiba di puncak Gede.
Pemandangan di bawah adalah kawah Gunung Gede yang mengeluarkan asap vulkanik.
Kawah besar dengan diameter sekitar 800 M, menganga di depan kami.
Di sebelah kiri, terlihat puncak Pangrango dengan ketinggian 3008 mdpl. Begitu
gagah dan mempesonanya puncak Pangrango itu.
Tak henti-hentinya aku mengucap syukur dan memuji. Begitu agung dan
indahnya ciptaan Tuhan layaknya jelmaan surga. Sungguh luar biasa. Tuhan
menciptakan ini semua tidak gratis. Untuk mendapatkan semua ini kita harus rela
bersusah payah.
Kami semua berdiri berjejer berfoto untuk mengabadikan momen indah ini.
Senyum puas dan bahagia terpancar di wajah kami semua.
Dion mengeluarkan sepucuk bunga Edelweis dari dalam saku jaketnya. Tenyata
dia memetiknya ketika kami beristirahat di dekat hamparan padang Edelweis yang
cantik dan terbalut udara segar khas pegunungan.
”Edelweis ini sengaja aku petik untuk kamu, Arina. Semoga cinta kita abadi
seperti bunga ini.” suara Dion begitu tulus sambil menyodorkan Edelweis ke hadapanku.
Aku meraih bunga itu dengan tangan gemetar. Dengan sigap Dion menghapus air
mata yang membasahi pipiku.
”Terima kasih, Dion.” bisikku gemetar.
” I love you, Arina.” Dion langsung mendekap mesra tubuh mungilku.
”Love you too, Dion.”
”Kamu mau gak terima lamaran aku setelah kita lulus kuliah nanti? Karena
kamu cuma satu, aku rela berkorban demi gadis yang paling aku sayang.” ujarnya mantap.
”Aku takut kamu ninggalin aku lagi, Di.”
”Gak percaya?” Dion membalikkan badannya seraya membuka mulut.
”Jangan, Dion!” aku tahu apa yang akan dilakukan Dion. ”Gak perlu kamu
meneriakkan cintamu lagi. Cintamu sudah tersimpan di hatiku.” ujarku sambil
memejamkan mata.
Teman-teman Dion memperhatikan kami sambil menahan tawa.
Dion sudah membuka mulutnya lebar-lebar tetapi aku keburu membekap mulutnya
rapat-rapat.
Tamat