Selasa, 12 Februari 2013

Untukmu, Wahai Kedua Kakakku



Masih ingatkah engkau wahai kedua Kakakku saat-saat dimana kita masih tinggal bersama dalam satu atap? Setiap hari kita bertengkar, tertawa bersama, susah dan senang, kita tidur dalam satu kamar dan menangis bersama.
Ingatkah engkau saat-saat salah satu dari kita jatuh sakit? Engkau membantuku makan pada waktu Ayah dan Ibu kita tidak ada dirumah dan membuat makanan yang lunak untukku.
Masih ingatkah engkau, aku selalu membuatmu kesal dan marah wahai Kakakku? Saat-saat dimana aku tidak mendengarkan perkataanmu dan apa yang kau suruh tidak aku kerjakan. Engkau memukulku dan dengan cepat aku membalas pukulan tersebut. Setelah itu aku menangis karena dimarahi oleh Ibu. Ketika itu aku merajuk dan tidak ingin mengajakmu berbicara, tetapi keesokan harinya aku lupa dan kita tertawa bersama lagi.
Wahai Kakakku, masih ingatkah engkau ketika kita saling bercerita apa yang sudah kita lalui dan aku berjanji tidak akan menceritakan kepada siapapun bahkan kepada Ayah dan Ibu kita sendiri? Ketika engkau bercerita sambil menitikkan air mata dengan sigap aku menenangkan engkau dan meminjamkan bahu ini.
Ingatkah engkau, saat-saat kita membuat Ayah dan Ibu kelelahan dan menangis karena ulah kita yang susah diatur? Saat-saat dimana kita mandi bersama ketika balita.
Masih ingatkah engkau saat-saat kita menangis karena tidak rela ditinggal pergi ke tanah suci oleh Ayah dan Ibu? Saat itu kita berjanji tidak akan bertengkar selama mereka tidak tinggal dirumah.
Masih ingatkah engkau, ketika kita tertawa bersama karena suatu hal yang lucu dan kita saling menertawakan diri kita masing-masing ketika kita berbuat kebodohan?
Masih ingatkah engkau, setiap pagi dan sore kita selalu berbagi tugas membersihkan rumah? Apa yang sudah kita lakukan itu sangat membantu meringankan beban Ibu yang sudah letih seharian berdagang di pasar. Terkadang aku menggantikanmu bekerja ketika engkau belum sampai dirumah.
Masih ingatkah engkau, ketika kita berebut makanan yang dibawa Ayah ketika pulang bekerja? Dan disaat engkau membagi makanan yang engkau beli kepadaku.
Masih ingatkah engkau, ketika engkau membangunkanku ketika terlelap dan mengingatkan untuk sholat dan membaca Al-Quran ketika sesudah sholat? Ketika itu aku marah dan engkau tidak kehabisan akal mencoba membangunkanku.
Apakah engkau masih ingat, aku selalu menanyakan dimana keberadaanmu ketika engkau tidak ada dirumah? Padahal ketika kita bersama, tidak jarang kita bertengkar karena masalah yang kecil.
Masih ingatkah engkau ketika Aku, Ayah dan Ibu menyaksikan kalian di wisuda? Dengan anggunnya, kalian memakai toga. Aku, Ayah dan Ibu menangis karena terharu. Ayah berkata “dulu mereka masih kita gendong, Bu, sekarang mereka dengan bahagianya toga. Tidak terasa semua berjalan begitu cepat yah Bu” Ibu mengiyakan dengan mata berkaca-kaca.
Dan apakah engkau masih ingat wahai kedua Kakakku, masih ingatkah saat-saat aku menjadi saksi ketika engkau dipinang oleh seorang laki-laki yang akan menjadikanmu istri mereka? Dan ikut tersenyum bahagia ketika engkau bersanding di pelaminan dengan lelaki yang kau cintai.
Terlalu banyak kenangan yang kita lalui bersama-sama dan kenangan ini akan kita rindukan ketika tua nanti dan menceritakan kenangan ini kepada suami, anak-anak bahkan cucu –cucu kita kelak. Terlalu banyak air mata dan tawa ketika kita menjalani hidup ini dalam satu atap selama kurang lebih 17 tahun.
Dan sekarang, setelah kalian menikah dan tinggal bersama dengan suami kalian, tinggallah aku sendiri menjadi anak tunggal dirumah. Hanya Ayah dan Ibu yang menemaniku ketika dirumah. Jujur, aku belum siap. Aku belum siap berpisah dari kalian walaupun hanya dibatasi jarak berkilo-kilo meter.
2010 lalu, Mbak Ayu, kakak pertamaku menikah dan tinggal bersama suami dan mertuanya di Depok. Setiap malam sebelum tidur, aku selalu membayangkan sosok dirinya. Sosoknya yang galak namun penyayang.
Sejak saat itu aku dekat dengan kakak keduaku, Mbak May. Setahun kemudian, Mbak May menikah. Entah mengapa air mataku keluar dengan deras ketika calon suamimu datang pada waktu pernikahanmu. Malamnya, barulah aku merasakan kesepian yang sebenarnya. Kesepian karena tidak ada teman tidur lagi. Aku selalu menangis ketika Dia pamit untuk pulang kerumah barunya dan memeluk dia barang sebentar sambil berkata “menginaplah disini barang semalam. Aku masih kangen” dia menjawab “jangan nangis! Aku selalu ada untukmu. Kalau ada perlu, jangan sungkan datang kerumahku.”
Terkadang aku menangis mengingat semua kenangan yang kita alami. Aku merasa kesepian. Aku merasa bosan dan tidak tahu apa yang harus aku lakukan dirumah. Ingin sekali aku mengulangi semua kenangan itu. Kenangan itu aku simpan baik-baik di memori otakku.
Bukan hanya aku yang merasakan kesepian. Ayah dan Ibu pun demikian. Hanya saja mereka tidak ingin menunjukkan kesedihan mereka. Tiada lagi tawa dan tangis dirumah ini.
Ya.. beginilah hidup. Ada pertemuan pasti ada perpisahan. Dan bagaimana kita mengambil hal positif dari setiap perjalanan hidup ini. Semoga kita bisa membayar semua jerih payah Ayah dan Ibu yang telah merawat kita hingga saat ini. Ya Allah, izinkan kami sujud di Tanah Suci, dan semoga kita sama-sama dipertemukan Allah disurganya, amin..



Tidak ada komentar:

Posting Komentar