Masih ingatkah engkau wahai kedua Kakakku saat-saat
dimana kita masih tinggal bersama dalam satu atap? Setiap hari kita bertengkar,
tertawa bersama, susah dan senang, kita tidur dalam satu kamar dan menangis
bersama.
Ingatkah engkau saat-saat salah satu dari kita jatuh
sakit? Engkau membantuku makan pada waktu Ayah dan Ibu kita tidak ada dirumah
dan membuat makanan yang lunak untukku.
Masih ingatkah engkau, aku selalu membuatmu kesal dan
marah wahai Kakakku? Saat-saat dimana aku tidak mendengarkan perkataanmu dan
apa yang kau suruh tidak aku kerjakan. Engkau memukulku dan dengan cepat aku
membalas pukulan tersebut. Setelah itu aku menangis karena dimarahi oleh Ibu.
Ketika itu aku merajuk dan tidak ingin mengajakmu berbicara, tetapi keesokan
harinya aku lupa dan kita tertawa bersama lagi.
Wahai Kakakku, masih ingatkah engkau ketika kita
saling bercerita apa yang sudah kita lalui dan aku berjanji tidak akan
menceritakan kepada siapapun bahkan kepada Ayah dan Ibu kita sendiri? Ketika
engkau bercerita sambil menitikkan air mata dengan sigap aku menenangkan engkau
dan meminjamkan bahu ini.
Ingatkah engkau, saat-saat kita membuat Ayah dan Ibu
kelelahan dan menangis karena ulah kita yang susah diatur? Saat-saat dimana
kita mandi bersama ketika balita.
Masih ingatkah engkau saat-saat kita menangis karena
tidak rela ditinggal pergi ke tanah suci oleh Ayah dan Ibu? Saat itu kita
berjanji tidak akan bertengkar selama mereka tidak tinggal dirumah.
Masih ingatkah engkau, ketika kita tertawa bersama
karena suatu hal yang lucu dan kita saling menertawakan diri kita masing-masing
ketika kita berbuat kebodohan?
Masih ingatkah engkau, setiap pagi dan sore kita
selalu berbagi tugas membersihkan rumah? Apa yang sudah kita lakukan itu sangat
membantu meringankan beban Ibu yang sudah letih seharian berdagang di pasar.
Terkadang aku menggantikanmu bekerja ketika engkau belum sampai dirumah.
Masih ingatkah engkau, ketika kita berebut makanan
yang dibawa Ayah ketika pulang bekerja? Dan disaat engkau membagi makanan yang
engkau beli kepadaku.
Masih ingatkah engkau, ketika engkau membangunkanku
ketika terlelap dan mengingatkan untuk sholat dan membaca Al-Quran ketika
sesudah sholat? Ketika itu aku marah dan engkau tidak kehabisan akal mencoba membangunkanku.
Apakah engkau masih ingat, aku selalu menanyakan
dimana keberadaanmu ketika engkau tidak ada dirumah? Padahal ketika kita
bersama, tidak jarang kita bertengkar karena masalah yang kecil.
Masih ingatkah engkau ketika Aku, Ayah dan Ibu
menyaksikan kalian di wisuda? Dengan anggunnya, kalian memakai toga. Aku, Ayah
dan Ibu menangis karena terharu. Ayah berkata “dulu mereka masih kita gendong,
Bu, sekarang mereka dengan bahagianya toga. Tidak terasa semua berjalan begitu
cepat yah Bu” Ibu mengiyakan dengan mata berkaca-kaca.
Dan apakah engkau masih ingat wahai kedua Kakakku,
masih ingatkah saat-saat aku menjadi saksi ketika engkau dipinang oleh seorang
laki-laki yang akan menjadikanmu istri mereka? Dan ikut tersenyum bahagia
ketika engkau bersanding di pelaminan dengan lelaki yang kau cintai.
Terlalu banyak kenangan yang kita lalui bersama-sama
dan kenangan ini akan kita rindukan ketika tua nanti dan menceritakan kenangan
ini kepada suami, anak-anak bahkan cucu –cucu kita kelak. Terlalu banyak air mata
dan tawa ketika kita menjalani hidup ini dalam satu atap selama kurang lebih 17
tahun.
Dan sekarang, setelah kalian menikah dan tinggal
bersama dengan suami kalian, tinggallah aku sendiri menjadi anak tunggal
dirumah. Hanya Ayah dan Ibu yang menemaniku ketika dirumah. Jujur, aku belum
siap. Aku belum siap berpisah dari kalian walaupun hanya dibatasi jarak
berkilo-kilo meter.
2010 lalu, Mbak Ayu, kakak pertamaku menikah dan
tinggal bersama suami dan mertuanya di Depok. Setiap malam sebelum tidur, aku
selalu membayangkan sosok dirinya. Sosoknya yang galak namun penyayang.
Sejak saat itu aku dekat dengan kakak keduaku, Mbak
May. Setahun kemudian, Mbak May menikah. Entah mengapa air mataku keluar dengan
deras ketika calon suamimu datang pada waktu pernikahanmu. Malamnya, barulah
aku merasakan kesepian yang sebenarnya. Kesepian karena tidak ada teman tidur
lagi. Aku selalu menangis ketika Dia pamit untuk pulang kerumah barunya dan
memeluk dia barang sebentar sambil berkata “menginaplah disini barang semalam.
Aku masih kangen” dia menjawab “jangan nangis! Aku selalu ada untukmu. Kalau
ada perlu, jangan sungkan datang kerumahku.”
Terkadang aku menangis mengingat semua kenangan yang
kita alami. Aku merasa kesepian. Aku merasa bosan dan tidak tahu apa yang harus
aku lakukan dirumah. Ingin sekali aku mengulangi semua kenangan itu. Kenangan
itu aku simpan baik-baik di memori otakku.
Bukan hanya aku yang merasakan kesepian. Ayah dan Ibu
pun demikian. Hanya saja mereka tidak ingin menunjukkan kesedihan mereka. Tiada
lagi tawa dan tangis dirumah ini.
Ya.. beginilah hidup. Ada pertemuan pasti ada
perpisahan. Dan bagaimana kita mengambil hal positif dari setiap perjalanan
hidup ini. Semoga kita bisa membayar semua jerih payah Ayah dan Ibu yang telah
merawat kita hingga saat ini. Ya Allah, izinkan kami sujud di Tanah Suci, dan
semoga kita sama-sama dipertemukan Allah disurganya, amin..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar